“Melelahkan”, itu kata yang saya ucapkan ketika
seorang teman kampus saya bertanya pendapat saya tentang konflik di
Papua. Pertanyaan tersebut saya pikir wajar terucap melihat tersebarnya
berita kembali beraksinya OPM, atau yang selalu dibahasakan sebagai
“Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB)” yang dianggap merongrong kedaulatan
Indonesia di Papua, dan ketika ada wanita Papua berada di jantung
wilayah Indonesia, yaitu di Pulau Jawa, maka pertanyaan-pertanyaan
mungkin akan muncul. Apakah di hati saya “merah-putih” atau “bintang
kejora”? Apakah saya memilih Garuda atau Cenderawasih? Apakah saya
merayakan 17 Agustus atau 1 Desember? Apakah saya memilih Garuda atau
Cenderawasih? Memang tidak ada pertanyaan eksplisit mengenai hal
tersebut, tapi pertanyaan-pertanyaan “menjurus” untuk mengetahui apa
pilihan saya dalam konflik di Papua pernah dilontarkan beberapa teman
saya.
“Kau beruntung tidak lahir di daerah konflik” kata
saya dalam hati bila ada pertanyaan yang “menjurus” tersebut terlontar
kepada saya. Jangan salah menilai, saya tidak pernah mengeluh untuk
lahir sebagai wanita Papua, kulit hitam dan rambut keriting seperti
halnya ras Melanesia di Papua melekat pada diri saya, dan saya bersyukur
kepada Tuhan akan hal itu. Tapi saya selalu berandai-andai, saya akan
lebih bersyukur apabila dilahirkan sebagai wanita Melanesia di Papua
yang damai.
Dalam bahasa sederhana saya, saya ibaratkan konflik
di Papua sebagai konflik rumah tangga. Papua adalah ibu saya, Indonesia
adalah bapak saya, integrasi Papua ke Indonesia adalah perkawinan bapak
dan ibu saya, dan saya adalah anaknya. Ketika bapak dan ibu berkonflik
dan perkawinan mereka terguncang, si anak lah yang menjadi korban. Akan
menjadi beban bagi si anak bila harus memilih, karena memilih antara
bapak atau ibu, tidak seperti memilih antara somay atau batagor. Maksud saya di sini adalah, pilihan ini bukan hanya pilihan urusan perut, pilihan ini adalah pilihan tentang batin.
Dan saya selalu berharap, pilihan “bapak atau ibu”
tidak pernah hadir dalam kehidupan saya, karena saya menganggap pilihan
“bapak atau ibu” bukanlah pilihan, si anak butuh keduanya. Pilihan
tersebut, sampai kapanpun, akan melukai si anak.
Epilog
Kedua teman kost saya kembali dari liburan
lebarannya sore ini, seorang wanita asli Purwekerto yang manis dengan
jilbabnya yang berlebaran di rumah saudaranya di Karawang dan seorang
wanita anggun asal Jakarta, kami memang menyewa kamar yang cukup besar
dan biaya hidup ditanggung bersama. Masih sambil menulis artikel ini,
saya bertanya kepada teman saya asal Jakarta, “Gimana, jadi putus kah
kau dengan abang itu?” Tanya saya kepadanya. Teman saya ini memang
berencana untuk memutuskan hubungan dengan pacarnya setelah menjalin
hubungan lebih dari 7 tahun dengan alasan sudah tidak ada kesamaan
jalan. “Entahlah” katanya singkat tapi terasa berat. “Sebelum putus,
kamu ingat-ingat dulu apa yang telah abang itu lakukan buat hubungan
kalian, apakah layak kalian berpisah?” kata teman saya yang berasal dari
Purwekerto, bijak.
“Apakah layak kalian berpisah?” kalimat yang
singkat, tapi tepat. Seperti hubungan antara Papua dengan Indonesia,
apakah layak untuk berpisah? Lalu saya berfikir, apakah yang sudah
dilakukan Indonesia untuk Papua? Apa hal yang paling berharga yang
diberikan Indonesia untuk Papua. Setelah agak lama, saya berfikir
mungkin bahasa Indonesia, adalah hal paling berharga yang diberikan
Indonesia, bukan pembangunan, bukan kesejahteraan, bukan Otsus bukan
juga UP4. Papua terdiri atas ratusan suku dengan ratusan bahasa.
Suku-suku tersebut berdiri sendiri dengan bahasanya masing-masing.
Bahasa Indonesia lah yang membuat antar suku bisa berkomunikasi, bahasa
Indonesialah yang membuat kami terhubung satu sama lain, bahasa
Indonesialah yang membuat orang Papua menjadi orang Papua selain orang
dari suku mereka.
Mungkin, bapak dan ibu memang tak seharusnya berpisah. Mungkin, Papua dan Indonesia memang tidak layak berpisah. Evha Uaga
0 komentar:
Posting Komentar