”Saat turun dari pesawat, kami melihat seorang anak perempuan dengan perut buncit dibopong ke bandara di atas bukit. Mereka menunggu pesawat yang akan mengangkut ke rumah sakit di kota. Permukiman penduduk itu sangat jauh dari pusat pelayanan,” ujar Asrida.
Papuacenter – DIMULAI dari jalan-jalan sampai jatuh cinta dengan tanah Papua. Itulah yang dialami Asrida Elisabeth yang pertama kali menginjakkan Bumi Cenderawasih untuk menjadi pekerja sosial. Setelah empat tahun berada di tengah masyarakat Papua, Asrida merasa masih banyak yang harus dilakukannya.
Saat pertama kali menginjakkan kaki di Papua, Asrida tak pernah membayangkan akan tinggal lama di pulau burung cenderawasih ini. Setelah lulus dari Jurusan Statistik, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Udayana, Bali, tahun 2011, perempuan kelahiran Kampung Nanga, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, ini pergi ke Keerom, Papua. Dengan diantar sang kakak, dia berniat membantu Yohanes Djonga Pr, aktivis hak asasi manusia yang akrab disapa Pater John.
”Selama kuliah, saya sama sekali enggak tahu Papua. Untuk itulah saya pilih ikut Pater John yang sudah lama berada di Papua,” kata Asrida.
Saat itu, pihak keluarga mempertanyakan langkah Asrida yang lebih memilih kerja sosial daripada melamar menjadi calon pegawai negeri sipil. Meski begitu, dia tetap memilih untuk berkeliling Papua membantu Pater John mendokumentasikan kehidupan dan semua masalah yang dihadapi masyarakat Papua.
”Ke mana saja Pater John pergi, saya ikut. Karena sering jalan dengan Pater, sudut pandang saya jadi seperti Pater, melihat masyarakat Papua sebagai korban. Tugas saya dokumentasi, mencatat, mengantar tamu, kebanyakan wartawan,” ujar Asrida.
Selama menjadi pekerja sosial, Asrida telah melihat beragam masalah yang melilit masyarakat Papua, mulai dari kepemilikan tanah, pendidikan, kesehatan, sampai konflik antara masyarakat dan militer. Seiring berjalannya waktu, anak seorang guru di Flores, NTT, ini memilih menekuni permasalahan perempuan.
Salah satu pengalaman yang paling berkesan ketika mengunjungi Distrik Samenage, Kabupaten Yahukimo, Papua, tahun 2013. Dengan pesawat kecil, dia bersama Pater John dan lima orang lainnya merayakan Paskah sekaligus menggali informasi dari masyarakat daerah otonom baru yang diresmikan akhir tahun 2003.
”Saat turun dari pesawat, kami melihat seorang anak perempuan dengan perut buncit dibopong ke bandara di atas bukit. Mereka menunggu pesawat yang akan mengangkut ke rumah sakit di kota. Permukiman penduduk itu sangat jauh dari pusat pelayanan,” ujar Asrida.
Rombongan juga berkunjung ke sekolah yang salah satu temboknya terpasang gambar mantan Wakil Presiden Try Sutrisno. Hanya satu guru yang lulusan SMA yang mengajar untuk semua kelas. Sementara di bangunan puskesmas, rumput-rumput semakin tinggi, tak terlihat satu orang pun. ”Sedihnya, masyarakat menerima saja yang mereka alami. Mereka menyerah dan semua pelayanan pendidikan dan kesehatan yang tak memadai itu menjadi hal biasa,” katanya.
Membuat film
Tahun 2013, Asrida memilih tinggal di Kabupaten Wamena, Papua. Semakin lama berada di tengah masyarakat, kepekaan Asrida terhadap kehidupan perempuan Papua semakin terasah. Apalagi, setiap kali berkeliling dengan Pater John, dia selalu mendokumentasikan semua kegiatan masyarakat Papua sehingga dirinya pun merasa dekat sekali dengan Papua.
Hobinya dalam mendokumentasikan gambar dan video membuat Asrida bergabung dengan komunitas Papuan Voices yang membuat banyak sekali film pendek mengenai kehidupan masyarakat Papua. Beberapa kali dia terlibat dalam pembuatan film dokumenter.
Suatu saat, Asrida mengamati suasana Pasar Jimbana, Wamena. Tak sadar, pandangannya jatuh pada seorang mama yang datang dari Kampung Huguma, Distrik Kurima, Kabupaten Yahukimo. Mama Halusina memang tinggal di Yahukimo, tetapi perjalanan ke Wamena untuk menjual hasil pertaniannya lebih mudah jika berjalan ke Wamena. Rasa penasaran yang besar membuat Asrida mengikuti Halusina sampai ke rumahnya. Tak hanya sekali, kesempatan itu dilakukan beberapa kali.
Beberapa waktu kemudian, Asrida melihat lowongan Project Change 2013 yang diselenggarakan Kalyana Shira Foundation. ”Saya iseng saja mengirimkan cerita Mama Halusina ke Project Change. Sama sekali enggak menyangka, akhirnya ide cerita saya diterima Kalyana Shira,” katanya.
Project Change merupakan pelatihan untuk pembuat film muda yang mengangkat isu kesetaraan jender, baik fiksi maupun dokumenter. Kegiatan ini diprakarsai sutradara Nia Dinata.
Awalnya, Asrida ingin mengangkat cerita mengenai perjalanan Halusina yang berjalan puluhan kilometer untuk menjual sayuran hasil pertaniannya, seperti daun ubi. Selama lima jam berjalan kaki, menyusuri lembah dan menyeberang kali, kemudian disambung dengan angkutan umum.
Namun, di tengah perjalanan persiapan film dokumenter Tanah Mama, cerita berubah. Saat pulang dari Jakarta untuk mengikuti pelatihan, Asrida tak menemukan Halusina di kampungnya. Ternyata, dia sedang terlilit masalah mencuri ubi di lahan milik adik iparnya. Sesuai hukum adat, Halusina harus membayar denda Rp 1 juta atau satu ekor babi. Sementara Hosea, sang suami Halusina yang mempunyai dua istri, tak peduli dengan nasib Halusina sebagai istri pertama. Akhirnya, dengan kondisi pas-pasan, Halusina pindah ke rumah adiknya di Kampung Anjelma, Yahukimo.
Dalam film yang ditayangkan di Cinema XXI bulan Januari lalu digambarkan kehidupan sehari-hari Halusina bersama empat anaknya. Mereka tinggal di sebuah rumah beralas tanah yang dilapisi kain terpal. Di salah satu sisi rumah, mereka hidup bersama binatang peliharaan, babi.
Asrida menceritakan, untuk membuat film dokumenter itu, diawali dengan riset selama tiga bulan. ”Setelah keadaan Mama Halusina berubah, saya konsultasi dengan mentor Ucu Agustin. Saya langsung diminta segera produksi filmnya,” kata Asrida.
Untuk pengambilan gambar, Asrida sebagai sutradara dibantu kamerawan Vera Lestafa dan Produser Lini Kiki Febriyanti. Selama sepuluh hari, Asrida berusaha membuat Halusina nyaman ketika diikuti kamera ke mana pun. Dari sembilan kru film yang terlibat, hanya tiga orang yang mengikuti Halusina.
Salah satu kendala yang dihadapi adalah bahasa Wamena yang digunakan masyarakat. ”Saya dibantu banyak orang untuk menerjemahkan bahasa Wamena. Untuk menerjemahkan dibutuhkan waktu satu bulan dan editing film satu bulan,” ujar Asrida menceritakan film berdurasi 65 menit ini.
Setelah film ini ditonton banyak orang, terutama masyarakat di luar Papua, Asrida menggantungkan banyak harapan. Solidaritas untuk masyarakat Papua, kehadiran pemerintah untuk memenuhi hak-hak dasar masyarakat, dan harapan generasi penerus Papua bisa hidup lebih baik. Semoga saja harapan demi harapan bisa terwujud di Bumi Cenderawasih. [travel.kompas.com]
0 komentar:
Posting Komentar