Selasa, 04 November 2014

Mengkaji Dibalik Orator “Free West Papua” Benny Wenda



Dibalik situasi Papua yang semakin hari semakin kondusif dan mencapai berbagai kemajuan, tak dapat dipungkiri pergerakan aktivis-aktivis yang masih berpahamkan ingin memisahkan diri dari Indonesia, masih saja ada. Kali ini, sebut saja Benny Wenda. Ia merupakan salah seorang warga Papua, yang konon menurut isu kini ia sedang memperjuangkan kemerdekaan bumi asalnya, untuk segera merdeka dan mendapatkan kesejahteraan yang sebaik-baiknya.

Benarkah demikian ? Mungkin perlu sedikit pengkajian mengenai hal ini. Mengenai aksi-aksinya selama ini, benarkah apa-apa yang ia orasikan mengenai “Papua Merdeka” itu untuk saudara-saudaranya, ataukah justru ada sesuatu hal lain yang dibalik semua orasinya tersebut ?

Entahlah, sebagai salah seorang bagian dari pulau Indonesia yang bermotifkan burung ini, penulis ingin mencoba memberikan sumbangsih apa yang kini penulis pahami.

Di satu sisi, apabila benar Benny Wenda sang orasi “Papua Merdeka” di luar negeri sana benar-benar tulus terhadap apa yang diusahakannya selama ini, sebagai salah satu bagian yang sedang diperjuangkannya, penulis merasa senang dan bangga terhadap beliau.

Namun, apa yang terjadi bila pada kenyataannya tidak demikian ? Apa yang terjadi apabila ternyata ia tidak tulus dalam aksi-aksinya selama ini ? Lebih dari itu, apa yang terjadi apabila ternyata ia hanya menjadi pencuri keuntungan terselubung dibalik orasi yang disuarakannya ? Ah, betapa piciknya Benny Wenda selama ini, apabila ternyata memang demikian adanya. Betapa kejamnya ia, menari bahagia di atas penderitaan saudara-saudaranya selama ini.

Secara kasat mata dan secara bahasa leter-teks, dari bahasa yang ia lontarkan dalam aksi-aksinya, memang benar adanya bahwa ia seolah sedang menjadi penyuara kesejahteraan untuk bumi Papua. Ia menyuarakan “Papua Merdeka” seolah ia sedang memperjuangkan saudara-saudara dari bumi asalnya.

Namun, rasanya banyak hal yang terasa ganjil mengenainya, dibalik aksi-aksi dan sepak terjangnya selama ini. Misalnya, kini ia tinggal di negeri Inggris sana. Di sana, ia hidup makmur sejahtera, mengenakan pakaian bersih nan mewah, bertinggalkan dalam rumah yang nyaman nan megah.

Lalu, bagaimana dengan orang-orang yang sepaham dan terhasut olehnya di Papua ini, bumi asalnya  sendiri?

Sebagai contoh, taruhlah gerakan Pro-M (Pro-Merdeka) yang bersenjata, yang kini mereka kebanyakan tinggal di gunung-gunung dan pedalaman. Apa yang mereka rasakan sebenarnya? Apakah mereka hidup nyaman, sejahtera dan makmur sebagaimana Benny Wenda ? Apakah mereka mengenakan pakaian bersih nan mewah sebagimana Benny Wenda ? Apakah mereka bertinggalkan di rumah nyaman nan megah sebagaimana Benny Wenda ? Apakah mereka makan makanan-makanan senikmat makanan Benny Wenda di Inggris sana ?

Entahlah, dari sedikit keganjilan tersebut saja, mungkin selayaknya kita berfikir secara jernih menganai apa-apa yang dilakukan Benny Wenda selama ini. Jangan-jangan, ia adalah aktor cerdas yang mengambil keuntungan dari situasi yang terjadi. Betapa tidak, bila memang benar apa yang dilakukannya selama ini tulus, mengapa ia masih bisa hidup nyaman dibalik kesusahan saudara-saudaranya selama ini ? Bila memang apa yang dilakukannya benar-benar tulus, mengapa ia kini masih saja menggunakan pakaian mewah, tinggal dalam kemegahan, hidup makmur dan sejahtera di balik saudara-saudaranya yang sepaham dengan dirinya, yang selama ini hidup dalam kesusahan, karena mengisolirkan diri di dalam gunung-gunung ?

Dengan demikian, silahkan saja pembaca simpulkan sendiri mengenainya. Tanpa mengurangi rasa hormat, bagi penulis sepak terjang Benny Wenda memunculkan tanya besar. Bagi penulis, ia hanya tokoh cerdas yang menikmati keuntungan dibalik orasinya.


Bagi penulis, Papua hari ini semakin baik dan semakin maju. Bila masih ada kekurangan, hal tersebut merupakan hal yang wajar, karena membangun negeri yang besar ini bukanlah hal yang mudah. Perlu usaha yang keras dan ulet. Perlu mental baja yang kuat untuk menghadapi segala hambatannya. Untuk itu, kepada saudara-saudaraku warga Papua, begitupun kepada seluruh saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air Indonesia, mari kita sama-sama membangun Papua dan Indonesia ke arah yang jauh lebih bai. Mari kita berjuang bersama-sama secara cerdas, bukan dengan cara yang dilakukan oleh Benny Wenda yang hidup senang di luar negeri sana, sedangkan saudara sebangsanya berlelah diri di bumi asalnya. (Baim Wanggay)

Minggu, 02 November 2014

Dilema Seorang Wanita Papua: Antara Garuda atau Cenderawasih

14067058051987721009
“Melelahkan”, itu kata yang saya ucapkan ketika seorang teman kampus saya bertanya pendapat saya tentang konflik di Papua. Pertanyaan tersebut saya pikir wajar terucap melihat tersebarnya berita kembali beraksinya OPM, atau yang selalu dibahasakan sebagai “Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB)” yang dianggap merongrong kedaulatan Indonesia di Papua, dan ketika ada wanita Papua berada di jantung wilayah Indonesia, yaitu di Pulau Jawa, maka pertanyaan-pertanyaan mungkin akan muncul. Apakah di hati saya “merah-putih” atau “bintang kejora”? Apakah saya memilih Garuda atau Cenderawasih? Apakah saya merayakan 17 Agustus atau 1 Desember? Apakah saya memilih Garuda atau Cenderawasih? Memang tidak ada pertanyaan eksplisit mengenai hal tersebut, tapi pertanyaan-pertanyaan “menjurus” untuk mengetahui apa pilihan saya dalam konflik di Papua pernah dilontarkan beberapa teman saya.

“Kau beruntung tidak lahir di daerah konflik” kata saya dalam hati bila ada pertanyaan yang “menjurus” tersebut terlontar kepada saya. Jangan salah menilai, saya tidak pernah mengeluh untuk lahir sebagai wanita Papua, kulit hitam dan rambut keriting seperti halnya ras Melanesia di Papua melekat pada diri saya, dan saya bersyukur kepada Tuhan akan hal itu. Tapi saya selalu berandai-andai, saya akan lebih bersyukur apabila dilahirkan sebagai wanita Melanesia di Papua yang damai.
Dalam bahasa sederhana saya, saya ibaratkan konflik di Papua sebagai konflik rumah tangga. Papua adalah ibu saya, Indonesia adalah bapak saya, integrasi Papua ke Indonesia adalah perkawinan bapak dan ibu saya, dan saya adalah anaknya. Ketika bapak dan ibu berkonflik dan perkawinan mereka terguncang, si anak lah yang menjadi korban. Akan menjadi beban bagi si anak bila harus memilih, karena memilih antara bapak atau ibu, tidak seperti memilih antara somay atau batagor. Maksud saya di sini adalah, pilihan ini bukan hanya pilihan urusan perut, pilihan ini adalah pilihan tentang batin.
Dan saya selalu berharap, pilihan “bapak atau ibu” tidak pernah hadir dalam kehidupan saya, karena saya menganggap pilihan “bapak atau ibu” bukanlah pilihan, si anak butuh keduanya. Pilihan tersebut, sampai kapanpun, akan melukai si anak. 


Epilog
Kedua teman kost saya kembali dari liburan lebarannya sore ini, seorang wanita asli Purwekerto yang manis dengan jilbabnya yang berlebaran di rumah saudaranya di Karawang dan seorang wanita anggun asal Jakarta, kami memang menyewa kamar yang cukup besar dan biaya hidup ditanggung bersama. Masih sambil menulis artikel ini, saya bertanya kepada teman saya asal Jakarta, “Gimana, jadi putus kah kau dengan abang itu?” Tanya saya kepadanya. Teman saya ini memang berencana untuk memutuskan hubungan dengan pacarnya setelah menjalin hubungan lebih dari 7 tahun dengan alasan sudah tidak ada kesamaan jalan. “Entahlah” katanya singkat tapi terasa berat. “Sebelum putus, kamu ingat-ingat dulu apa yang telah abang itu lakukan buat hubungan kalian, apakah layak kalian berpisah?” kata teman saya yang berasal dari Purwekerto, bijak.

“Apakah layak kalian berpisah?” kalimat yang singkat, tapi tepat. Seperti hubungan antara Papua dengan Indonesia, apakah layak untuk berpisah? Lalu saya berfikir, apakah yang sudah dilakukan Indonesia untuk Papua? Apa hal yang paling berharga yang diberikan Indonesia untuk Papua. Setelah agak lama, saya berfikir mungkin bahasa Indonesia, adalah hal paling berharga yang diberikan Indonesia, bukan pembangunan, bukan kesejahteraan, bukan Otsus bukan juga UP4. Papua terdiri atas ratusan suku dengan ratusan bahasa. Suku-suku tersebut berdiri sendiri dengan bahasanya masing-masing. Bahasa Indonesia lah yang membuat antar suku bisa berkomunikasi, bahasa Indonesialah yang membuat kami terhubung satu sama lain, bahasa Indonesialah yang membuat orang Papua menjadi orang Papua selain orang dari suku mereka.

Mungkin, bapak dan ibu memang tak seharusnya berpisah. Mungkin, Papua dan Indonesia memang tidak layak berpisah. Evha Uaga 

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Blogger Themes | LunarPages Coupon Code