Kamis, 29 Januari 2015

Kelihaian TNI Cenderawasih Tangkap OPM


Dalam masa OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang semakin menjadi-jadi dalam berulah, aparat keamananpun semakin profesional dalam melaksanakan tugasnya.
Kemarin, rabu 26 Januari Januari 2014, mungkin saja andapun sudah mendengar mengenai berita penangkapan 3 anggota OPM yang berhasil dibekuk oleh aparat gabungan TNI dan Polri.
Yang membuat menarik untuk kali ini, proses penangkapan dilakukan dengan cara yang cukup lihai. Bermodalkan keberanian dan keprofesionalan, seorang anggota TNI berpangkat Serma (Sersan Mayor) dengan inisial “S”, rela menjadi umpan demi keberhasilan tugas.
Menurut kesaksian Mayjen TNI Fransen (Pangdam XVII/Cenderawasih) sebagai pimpinan tertinggi TNI di Papua, keberhasilan penangkapan 3 anggota OPM ini merupakan kelanjutan dari penangkapan anggota OPM sebelumnya, yakni yang berhasil ditangkap di wilayah Paniai hari sabtu 24 Januari kemarin.
Dalam penyampaiannya, beliau mengatakan bahwa anggota OPM yang berhasil ditangkap sebelumnya di Paniai itu, memberikan banyak informasi yang membawa keberhasilan dalam penangkapan kali ini. Dengan bermodalkan informasi tersebut, maka disusunlah sekenario untuk proses penangkapan anggota OPM yang lainnya.
Dalam waktu singkat, skenariopun dibuat dan direncanakan secara matang. Secara sederhana, skenario penangkapan dimulai dengan adanya anggota TNI yang dijadikan umpan, dijadikan seolah sebagai mitra bagi OPM yang kini sedang membutuhkan asupan munisi senjata.
Singkat cerita, tidak lama setelah proses skenario tersebut dimulai, akhirnya tiga anggota OPM pun berhasil termakan umpan. Mulailah mereka membuat janji untuk melakukan transaksi, yakni pada hari rabu (26/1) kemarin di PTC Entrop Jayapura sekitar pukul 11 WIT.
Namun naas bagi ketiga anggota OPM tersebut, mereka begitu lugu masuk dalam perangkap skenario ini. Akhirnya, dengan cara yang cukup lihai inipun, TNI dan Polri menuai keberhasilan kembali. Ketiga anggota OPM tersebut berhasil ditangkap kurang lebih pada pukul 11.45 WIT.

Sebagaimana Pangdam yang memberikan apresiasi kepada keberhasilan Serma TNI inisial “S” tersebut, sebagai penulis sayapun memberikan apresiasi kepada keberhasilan TNI dan Polri, khususnya kepada pemberani anggota TNI yang menjadi umpan tersebut.

Sabtu, 17 Januari 2015

Benny Wenda Berbicara “Kemunculan Asap, Namun Abaikan Api sebagai Penyebab” – Timika Papua


Suatu hal yang menyedihkan, krisis konflik antara sekelompok kecil warga Papua yang masih berambisi untuk mewujudkan disintegrasi Papua dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dengan pihak aparat kemanan masih saja terjadi. Kali ini, terkait kejadian yang baru-baru saja terjadi di wilayah Timika Papua Barat. Sungguh menyedihkan, di satu sisi memang dimaklumi bahwa menyampaikan aspirasi adalah hak setiap orang yang hidup termasuk mereka kelompok kecil yang menginginkan disitegrasi Papua, namun di sisi lain aparat keamanan juga tentu pasti bertindak sesuai dengan ranah tugas dan tanggungjawab yang mereka emban.

Kejadian terbaru yang terjadi di wilayah Timika Papua Barat yang dimaksud, yakni terkait dengan penangkapan warga yang berjumlah sekitar seratusan orang oleh aparat TNI dan Polri. Penangkapan yang dilakukan oleh aparat tersebut, tentu dilakukan bukan dengan tanpa alasan, tapi tentu adanya tindakan-tindakan yang mereka lakukan, yang membuat aparat terpaksa harus melakukan penangkapan tersebut demi melaksanakan tugas.
Dalam memandang hal ini, begitu juga dalam memandang hal-hal lainnya, setiap orang tentu mempunyai hak penafsiran dalam menafsirkan apa yang dipandangnya. Hanya saja, dalam kewajaran bahwa setiap orang berhak menafsirkan apa yang dipandangnya, baik tafsiran tersebut bersifat positif maupun negatif, ternyata hal tersebut menjadi kesempatan emas bagi Benny Wenda yang selama ini juga termasuk pihak yang menginginkan terdisintegrasinya Papua dari NKRI. Untuk itu, ia kemudian berbicara melalui laman situsnya (http://bennywenda.org/2015/statement-on-the-mass-arrests-and-burning-of-houses-in-timika/) mengenai hal tersebut, mengungkapkan pemikiran-pemikirannya yang tentu saja pasti disesuaikan dengan tendensius kepentingan politiknya.

Dalam laman situsnya tersebut, Benny Wenda berbicara seolah ia sedang mewakili keseluruhan warga Papua, yang kini dalam ucapannya bahwa mereka (warga Papua secara keseluruhan) sedang ditindas, disiksa dan berada dalam tekanan aparat dan pemerintahan Indonesia. Di sela-sela tulisan yang dibuatnya, iapun menyuguhkan beberapa foto penangkapan seratusan warga tersebut yang dilakukan oleh Aparat TNI dan Polri. Tentu saja, dengan foto-foto tersebut ia berharap bahwa hal tersebut, maka apa yang dutulisnya akan terlihat nyata dan berhasil mengelabui para pembacanya. Dengan demikian, maka dengan bermodalkan hal tersebut, maka Benny Wenda berbicara seenak yang dia mau, mengungkapkan pemikiran-pemikirannya, dengan membesar-besarkan masalah yang terjadi dan memutarbalikkan esensi fakta yang terjadi.

Dalam hal ini misalnya, ia mengatakan bahwa dengan kejadian tersebut (dengan bukti foto yang dipasangnya), membuktikan bahwa Papua kini sedang berada dalam ketertindasan yang dilakukan oleh aparat keamanan. Ia dengan keindahan susunan kata-kata yang dirangkainya, berusaha menunjukkan bahwa apa yang dibicarakannya merupakan fakta dan kebenaran yang terjadi. Namun sayangnya, ia lupa bahwa semua pembaca itu tidak bodoh dan mudah terkelabui dengan apa yang dibicarakannya. Ia lupa bahwa, bagi para pembaca yang masih mampu berfikir secara logis, jernih dan tanpa dipengaruhi oleh tendesnsius kepentingan pribadi, akan sangat mudah menilai isi pembicaraan yang kosong. Bagaimana tidak, dari hal ungkapannya bahwa “Papua sedang ditindas” saja sudah terlihat kesalahan berfikirnya. Bagaimana bisa, kejadian yang hanya menimpa sekelompok kecil warga Papua, yang hanya di wilayah Timika, dikatakan bahwa hal itu terjadi kepada “seluruh Papua” ? Lebih dari itu, yang diherankan adalah, atas dasar apa ia mengatakan bahwa hal tersebut merupakan penindasan ?

Dalam melakukan tugasnya, yang perlu dipahami dalam hal ini adalah, bahwa aparat keamanan tidak hanya bertugas memberikan pelayanan keamanan yang bersifat parsial untuk wilayah tempatnya bertugas saja. Lebih dari itu, aparat keamanan mempunyai tugas yang jauh lebih luas dan lebih utama, yakni menjaga kedaulatan dan keutuhan NKRI. Dengan demikian, terkait hal penangkapan kelompok kecil warga Papua di Timika itu, Benny Wenda dari apa yang dibicarakannya, ia lupa membicarakan seba-sebab kejadian tersebut. Ia berbicara asap yang timbul, namun ia melupakan api penyebab timbulnya asap tersebut.

Di paragraf awal, sudah penulis singgung bahwa aparat keamanan, dalam bertindaknya pasti sesuai dengan ranah tugas dan tanggungjawab yang diembannya. Dengan demikian, maka dapat dengan mudah dipahami bahwa, penangkapan yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap seratusan kelompok warga di Timika tersebut, pasti disebabkan oleh tindakan-tindakan mereka sendiri. Kaitannya dengan hal tersebut, dalam hal ini mereka walaupun dengan hak aspirasinya, telah bertindak mengancam keutuhan dan kedaulatan negara. Tentu dengan dasar tersebut, aparat keamanan yang memang salah satu tugasnya adalah mengatasi hal tersebut, maka melakukan proses penangkapan terhadap mereka, yang dilakukan secara persuasif selama mereka mampu diarahkan secara baik. Dalam hal ini, terlihat dengan jelas bahwa apa yang disampaikan oleh Benny Wenda merupakan pembesaran masalah dan pemutarbalikan fakta semata. Tidak ada yang ditindas di sana, apa yang dilakukan oleh aparat tentu sesuai dengan tindakan dan respon yang mereka berikan ketika melalukan proses pengamanan terhadap mereka.


Dengan semua ini, penulis mengajak kepada para pembaca untuk mampu menilai secara cerdas terhadap apa yang terjadi, terutama ketika dihadapkan dengan tulisan yang bersifat provokasi seperti yang ditulis oleh Benny Wenda. Salam damai.

Selasa, 13 Januari 2015

Kapankah Konflik Aparat Vs OPM di Papua berakhir ???


“Ada apakah dengan Papuaku ini ? Kenapa kini ku harus berada di antara konflik yang tiada berujung ? Memang sih, konfliknya kecil dan tidak terlalu besar, tapi kapankah semua ini berakhir ? Aku ingin Papua ini damai. Aku ingin Papua ini sebagaimana slogan yang sering ku dengar bahwa Papua itu -Tanah Damai-. Kenapakah konflik ini masih saja ada?”

Begitulah kira-kira mungkin lamunan yang dirasakan oleh warga-warga Papua yang tak berdosa, yang kini menjadi korban di antara konflik yang masih saja terjadi. Mereka bosan mendengar berita tertembaknya aparat penjaga keamanan oleh kelompok separatis bersenjata, begitupun sebaliknya mereka juga bosan mendengar berita tertembaknya kelompok separatis oleh aparat, karena bagaimanapun juga, kelompok separatis itu tetaplah saudara mereka. Lebih dari itu, mereka juga bahkan mungkin lebih bosan lagi, karena terkadang merekalah sebagai warga sipil yang menjadi korban di antara baku tembak dan perselisihan yang terjadi. Mereka bosan, karena terkadang mereka jugalah yang menjadi sasaran peluru panas dari kelompok separatis itu, menjadi sasaran amukan kelompok separatis yang membakar rumah dan honay-honay mereka itu, dan lain sebagainya.

Ah, permasalahan ini cukup pelik memang. Buktinya, hingga kini permasalahan ini masih saja belum mampu teratasi secara sempurna, walaupun berbagai upaya sudah dilakukan.
Mengajak turun kelompok separatis yang lebih rela hidup kelaparan di gunung-gunung dengan perjuangan versi angannya, tidaklah mudah. Aspirasi mereka yang menginginkan terpisahnya Papua dari Indonesia, seolah menjadi ideologi yang mengakar kuat dalam hati mereka. Ibarat kata, mereka jauh lebih memilih mati daripada turun gunung dan menyatakan diri sebagai warga negara Indonesia.

Dari segi aspirasi ini, memang mereka tidaklah salah. Karena apapun itu, aspirasi merupakan hak bagi setiap orang yang hidup. Hanya saja permasalahannya, apakah dengan tetap bertahannya mereka dengan ideologinya itu, akan membawa keberhasilan bagi Papua, ataukah justru sebaliknya ? Inilah sebetulnya yang harus direnungkan dan dipahami oleh mereka.


Penyelesaian Konflik.
Untuk mengakhiri konflik ini, sebenarnya hanya ada dua alternatif penyelesaian saja. Pertama, Pemerintahan Indonesia yang mengalah dan memenuhi aspirasi sekelompok kecil mereka yang menginginkan disintegrasi Papua itu (walaupun dengan mengorbankan warga Papua yang lainnya yang tentu saja masih ingin Papua tetap sebagai bagian dari NKRI (Negara kesatuan Republik Indonesia). Kedua, sebaliknya dari alternatif penyelesaian pertama, yakni sekelompok kecil mereka itulah yang harus mengalah dan menerima dengan sepenuh hati bahwa Papua merupakan bagian dari Indonesia. Dengan terpenuhinya salah satu di antara dua alternatif tersebut, tentu konflik ini akan selesai.
Lalu, apa yang harus dilakukan terkait hal ini ? Hanya ada tiga pilihan. Pertama, melakukan alternatif penyelesaian pertama tersebut, kedua melakukan alternatif penyelesaian yang kedua, ketiga membiarkan Papua terus dilanda konflik yang tiada berakhir.
Di sini, kita semua mempunyai pilihan masing-masing. Namun, rasa-rasanya tidak akan ada di antara kita yang memilih pilihan yang ketiga, yakni memilih Papua terus larut dalam konflik. Hanya saja, yang mana yang harus dipilih di antara pilihan pertama dan pilihan kedua ? Mari kita tentukan pilihan masing-masing dan berusaha membantu mewujudkannya.

Sebagai penulis, tentu saya juga akan memberikan masukan akan pilihan yang tepat yang harus diambil. Pilihan saya, lebih cenderung secara pasti kepada pilihan kedua, yakni harus segera kembalinya sekelompok kecil mereka yang menginginkan disintegrasi Papua dari Indonesia ini, kembali kepada kesadaran dan kemenerimaan akan kenyataan bahwa Papua memang bagian dari NKRI, yang memang sebaiknya haruslah selalu begitu.
Pilihan saya sebagai penulis ini, tentu bukan tanpa alasan sama sekali. Karena, memilih sesuatu tanpa alasan, berarti memilih dengan tanpa mengetahui pertimbangan baik antara yang baik dan yang buruk, antara yang benar dan yang salah. Untuk itu, untuk melengkapi tulisan ini, penulis akan akhiri dengan mengungkapkan alasan kepemilihan penulis akan pilihan kedua tersebut, yakni sebagai berikut :

- Pertama, kelompok pengingin disintegrasi Papua itu merupakakan kelompok kecil saja, yang tentu kelompok dari warga Papua yang lainnya lebih utama untuk dipenuhi keinginannya.

- Kedua, kebertahanan mereka dengan pemikirannya itu, hanyalah akan membuat Papua semakin larut dalam kekacauan, keterlambatan bahkan kemunduran.

- Ketiga, akar pemikiran mereka rapuh dan sangat lemah, dengan demikian, bila keinginan mereka dipenuhi, tentu Papua akan jatuh terpuruk setelah perkembangan yang kita rasakan hari ini.

- Keempat sekaligus yang terakhir, tentu agar konflik segera berakhir, terwujud Papua yang damai, bersatu bersinergi satu sama lain membangun Papua lebih maju.
Demikian tulisan ini penulis akhiri, semoga saja para pembaca yang budiman sepemikiran dengan saya, demi terwujudnya Papua yang damai dan semakin maju.

Rabu, 07 Januari 2015

Sambut 2015, Hilangkan Pemikiran Destruktif dan Primitif di Papua !!!


Ah, tidak terasa. Satu minggu sudah kita hidup dalam suasana baru di tahun 2015 ini. Hujan cahaya petasan yang menghiasi langit di malam tahun baru seminggu silam, mungkin masih terasa hangat dalam benak kita. Suasana riang, suka, ria dan gembirapun tentu meliputi perasaan kita dengan datangnya 2015 ini.
Hanya saja permasalahannya, sejauh manakah perubahan yang kita rasakan dengan datangnya tahun baru yang konon katanya identik sebagai momen “pembawa harapan baru” itu???
Dalam menjawab pertanyaan di atas, perlu sikap bijak yang harus kita lakukan dan kedepankan. Kita perlu menyadari dan memahami bahwa, perubahan itu pada dasarnya bersifat disambut dan dijemput, bukan hanya untuk diharapkan dan ditunggu saja. Kita bukanlah raja dalam negeri ini, yang tinggal duduk manis dan menunggu perubahan itu, namun justru kita adalah salah satu bagian daripada penentu perubahan itu.
Tidak ada pemerintah, tidak ada rakyat. Tidak ada Presiden, tidak ada tukang becak. Tidak ada guru, tidak ada petani. Pada dasarnya, semua mempunyai tugas yang sama di hadapan negeri ini. Semua mempunyai tugas yang sama untuk memajukan negeri ini, bekerja sama dan bersinergi satu sama lain, memberikan andil untuk senantiasa membawa perubahan kepada arah yang jauh lebih baik.
Memang, dalam kesamaannya tugas tersebut, tentu saja bentuk tugasnya pasti berbeda-beda. Kita sebagai warga negeri ini, tidak mungkin semuanya menjadi presiden, atau semuanya menjadi rakyat, atau semuanya menjadi guru. Di hadapan negeri ini, kita mempunyai andil yang sama, dengan posisi yang berbeda-beda. Kita saling melengkapi satu sama lain, menjadi bagian penyempurna dari penentu perubahan itu.
Presiden tidak akan mampu berbuat apa-apa, tanpa dukungan kita sebagai rakyatnya. Begitupun dengan kita sebagai rakyat, tentu tidak akan mampu maju bersinergis satu sama lain, tanpa dengan adanya presiden sebagai sosok pemimpin. Dengan demikian, sudah seyogiyanya perlu kita pahami bahwa, apapun posisi kita dalam negeri ini, baik sebagai petani ataupun sebagai guru, baik sebagai supir angkot ataupun sebagai menteri, janganlah pernah kita anggap remeh tugas kita itu. Sekecil apapun tugas kita itu, tentu ia memilki peran yang sangat penting sebagai pelengkap kesempurnaan negeri ini. Dengan kalimat yang lebih jelas, negeri ini tidak akan sempurna dengan tanpa adanya keberadaan kita di dalamnya
Hanya saja permasalahannya, setelah kita sadari bahwa kita semua memiliki peran yang sangat penting itu di dalam negeri ini, maukah kita memberikan andil kita itu untuk bersama-sama melakukan tindakan dalam membawa perubahan negeri ke arah yang jauh lebih baik? Ataukah justru kita memilih bersikap diam dan apatis? Atau yang lebih parah lagi, apakah kita justru malah memilih menjadi penghambat perubahan negeri ini?
Jawabannya, cukuplah kita jawab dalam benak kita masing-masing. Apakah kita mau menjadi pejuang, penonton ataupun penghambat perubahan itu. Marilah kita renungkan baik-baik, mari kita tentukan sikap kita sebagai seorang ksatria dalam negeri ini.
“Jangan tanyakan apa yang telah negara berikan kepadamu, namun tanyakan apa yang telah kau sumbangkan kepada bangsamu”.

Perubahan Urgen untuk Papua di Tahun 2015.
Berbicara masalah perubahan, lebih khusus untuk Papua, tentu akan banyak sekali. Baik perubahan dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya, infrastuktur dan bangunan, ataupun perubahan-perubahan dalam bentuk yang lainnya. Dengan demikian, dengan banyaknya hal perubahan yang harus dilakukan, tentu untuk membicarakannya tidak akan mampu diungkapkan dalam ruang sempit tulisan ini. Kaitannya dengan hal tersebut, maka dalam tulisan ini, penulis hanya akan mencukupkan memberikan sedikit  pemikiran akan perubahan penting, yang bersifat urgen dan harus segera dilakukan di Papua.
Secara global, perubahan yang terpenting yang penulis maksud adalah perubahan “pemikiran” atau perubahan “cara berfikir”. Tentu saja, perubahan pemikiran atau cara berfikir yang penulis maksud di sini, hanya untuk pemikiran-pemikiran yang tidak baik, tidak produktif atau yang masih bersifat desktruktif dan primitif. Sedangkan pemikiran-pemikiran yang sudah baik dan konstruktif, justru harus senantiasa dipertahankan dan bahkan harus terus dilestarikan.
Secara global pula, perubahan pemikiran atau perubahan cara berfikir yang harus dilakukan untuk Papua ini, secara garis besar penulis klasifikasikan ke dalam dua bentuk jenis perubahan pemikiran. Pertama, perubahan pemikiran secara umum. Kedua, perubahan pemikiran secara khusus untuk hal yang bersifat urgen.

- Perubahan Pemikiran Secara Umum untuk Papua.
Perubahan pemikiran secara umum yang harus dilakukan dalam hal ini, maksudnya adalah perubahan pemikiran untuk hal-hal yang bersifat kecil dan remeh. Namun demikian, bila perubahan pemikiran ini berhasil dilakukan, maka penulis yakin bahwa hal ini akan memberikan dampak positif yang sangat besar. Perubahan pemikiran yang bersifat remeh dan kecil tersebut, yakni berkaitan dengan perubahan pemikiran dalam kehidupan sehari-hari, yang berkaitan dengan gaya dan kebiasaan hidup di Papua. Dalam perubahan ini, perlu adanya perubahan pemikiran dari gaya dan kebiasaan hidup yang tidak baik menjadi gaya dan kebiasaan hidup yang baik.
Perubahan pemikiran dalam hal gaya dan kebiasaan hidup ini, misalnya yakni seperti gaya dan kebiasaan hidup mabuk-mabukan, malas bekerja, malas belajar dan lain sebagainya.
Dalam hal ini, misalnya dalam hal gaya dan kebiasaan hidup mabuk-mabukan. Sebenarnya, pemerintahan ataupun pemuka-pemuka agama sudah menyampaikan bahwa kebiasaan ini merupakan kebiasaan yang tidak baik bahkan dilarang agama. Namun demikian, pada kenyataannya tetap saja sebagian masyarakat masih saja senang melakukannya. Secara pemikiran jernih, jangankan kita, merekapun pasti mengerti bahwa mabuk-mabukan itu bukanlah hal yang baik. Namun sayangnya, pemikiran tersebut telah tertutupi oleh ego dan nafsu mereka, sehingga mereka berfikir bahwa dengan mabuk-mabukan mereka akan mendapatkan kenyamanan dan kebahagiaan. Padahal, kalaupun memang rasanya nyaman mereka rasakan, tapi sebenarnya kenyamanan tersebut hanyalah kenyamanan yang bersifat ilusi semata, yang justru akan memberikan ketidaknyamanan yang nyata setelahnya. Kondisi kesehatan mereka akan menjadi tidak baik, psikologis kejiwaan mereka terganggu, dan lain sebagainya. Begitupun dengan kebiasaan malas-malasan, baik malas bekerja ataupun malas belajar. Mereka terjebak dalam pemikiran-pemikiran yang salah, pemikiran-pemikiran yang hanya mengejar kenyamanan ilusi dan memperturutkan ego dan nafsu semata.
Dengan demikian, sudah seyogianya kesalahan-kesalahan pemikiran tersebut, harus segera dirubah ke arah pemikiran yang baik dan semestinya.

- Perubahan Pemikiran secara Khusus untuk Hal yang Bersifat Urgen.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa warga Papua yang masih menginginkan disintegrasi Papua dari Indonesia, hingga kini masih ada walaupun hanya dalam bentuk segolongan kecil saja. Namun demikian, tentu saja pemikiran tersebut tidak bisa kita acuhkan begitu saja, karena pemikiran tersebut bisa saja jadi benalu yang bisa merambah dan menjalar bila dibiarkan. Pada dasarnya, bagi penulis pemikiran mereka ini, merupakan pemikiran yang bersifat primitif yang sudah selayaknya dibuang jauh-jauh dalam perkembangan Papua hari ini. Pemikiran mereka hanyalah pemikiran primitif, sisa-sisa dari pemikiran yang sengaja dicuatkan oleh Belanda sebagai pembuat negara boneka dahulu kala.
Bagaimana pemikiran mereka ini tidak dikatakan primitif, tidakkah mereka berfikir bahwa menjaga keamanan Papua bersama-sama adalah lebih baik daripada melakukan peneroran dan penembakan terhadap pihak-pihak yang tidak berdosa ?
Bagaimana pemikiran mereka ini tidak dikatakan priminitif, tidakkah mereka berfikir bahwa membangun Papua adalah lebih baik daripada membakar honai-honai warga ?
Bagaimana pemikiran mereka ini tidak dikatakan primitif, tidakkah mereka berfikir bahwa hidup di kampung dan di kota bersama-sama dengan warga lainnya adalah lebih baik daripada mengisolasi diri di dalam hutan dan gunung ?
Ah, namun demikian mereka tetaplah saudara kita yang hanya saja masih mempertahankan pemikiran destruktif dan primitif. Dengan demikian, sudah selayaknya kita semua sebagai orang yang sadar dan mampu berfikir secara jernih, membantu merubah kesalahan pemikiran mereka itu, yang bagi penulis sangat urgen untuk kita lakukan saat ini.

Mengakhiri tulisan ini, penulis mengajak kepada diri pribadi dan kepada para pembaca yang budiman, marilah kita sama-sama ciptakan perubahan Papua kepada arah yang lebih baik, kepada pemikiran destruktif menjadi kostruktif, merubah pemikiran primitif  menjadi moderat. Mari kita lakukan perubahan untuk Papua yang sebaik-baiknya di tahun 2015 ini !!!

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Blogger Themes | LunarPages Coupon Code