Rabu, 04 November 2015

Prestasi Luar Biasa Kasad Jenderal TNI Mulyono, diangkat Sebagai Panglima Lapangan Adat Pegunungan Tengah


Sepanjang sekitar 20 tahun perjalanan menjabat sebagai seorang prajurit TNI AD, Jenderal Mulyono yang kini menjabat sebagai Kasad (Kepala Staf Angkatan Darat), mendapat kehormatan khusus dari masyarakat Papua dengan diangkatnya beliau sebagai Panglima Adat Pegunungan Tengah Wamena Papua. Kehormatan khusus yang diterima beliau tersebut, ditinjau dari wilayah pegunungan yang merupakan salah satu wilayah konflik di Papua, sekaligus menjadikan prestasi khusus bagi beliau. Tarik ulur isu mengenai konflik antara TNI sebagai aparatur negara dengan warga Papua yang dari versi negatif disebarkan oleh segelintir kecil kelompok pro kemerdekaan, yang mana dalam versi mereka TNI dengan warga Papua merupakan dua pihak yang selalu bertolak belakang dan seolah menjadi musuh bebuyutan, kini terbantahkan sudah. Diangkatnya Kasad sebagai sebagai Panglima Lapangan Adat Pengunungan Tengah Wamena Papua, menjadi bukti nyata kepercayaan masyarakat Papua terhadap beliau dan terhadap TNI serta Negara, yang tak mungkin dibantah oleh penebar isu-isu negatif tersebut, sekalipun mereka berkoar hinggi ujung dunia ataupun pelosok bumi.

Pengangkatan KASAD sebagai Panglima Lapangan adat Pegunungan Tengah ini mengandung konsekuensi bahwa Bapak KASAD yang merupakan pimpinan TNI di pusat menjadi bagian dari warga Suku Pegunungan Tengah dan berkewajiban membantu kesulitan masyarakat yang berada di wilayah Pegunungan tengah, Wamena, Papua. Suatu kehormatan dan kebanggaan bagi KASAD, bahwa masyarakat adat memberikan kepercayaan tersebut kepadanya.

Pada kesempatan itu perwakilan kepala suku menyampaikan pernyataan bahwa masyarakat Pegunungan Tengah tetap setia sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Seluruh Masyarakat Pegunungan Tengah juga mendukung pembangunan pemerintah yang ada di wilayah Pegunungan tengah, Wamena, Papua.

Dalam pernyataannya pada kesempatan saat diangkatnya beliau menjadi Panglima Lapangan Adat di Pegunungan Tengah Wamena Papua tersebut, beliau menyampaikan bahwa hal tersebut merupakan suatu kehormatan bagi beliau.

"Suatu kehormatan dan kebanggaan bahwa masyarakat adat memberikan kehormatan. Itu mengandung tanggung jawab, apapun yang terjadi di Pegunungan Tengah saya juga bertanggung jawab," tutur Kasad.

Selain itu, beliau juga menyampaikan bahwa dengan diangkatnya beliau sebagai Panglima Adat tersebut, beliau menyampaikan kesiapannya untuk bertanggung jawab terhadap semua permasalahan yang terjadi di Papua, terlebih khususnya di Pegunungan tengah Wamena Papua.

“Apapun yang terjadi di Pegunungan Tengah saya juga bertanggung jawab” lanjut beliau.

Selanjutnya, atas kehormatan yang diterima beliau, serta atas kesiapannya mengemban amanah tersebut, Kasad pun tidak lupa memohon doa restu dari masyarakat Papua.

“Saya mohon doa restu agar saya mampu mengemban amanah sebagai Panglima Lapangan Adat Pegunungan Tengah”

Semoga dengan kehadiran beliau di tanah Papua, dan dengan diangkatnya beliau sebagai Panglima Lapangan Adat Pegunungan Tengah Wamena Papua, benar-benar akan menjadi momen yang akan membawa Papua akan lebih baik lagi, aman dan dama, sebagaimana harapan yang diungkapkan oleh salah seorang Ondo Folo Papua.

"Masyarakat dan TNI ini harus bersatu ciptaan kedamaian," ujar Ondo.

Senin, 02 November 2015

Koordinator LIPI: Indonesia itu juga Melanesia


Papua Center : Koordinator Tim Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adriana Elisabeth meminta pemerintah untuk mengantisipasi peningkatan kekerasan di Papua, karena adanya beberapa faktor.

“Komitmen pemerintah atas perdamaian di Papua terkendala oleh meningkatnya kekerasan di Papua, khususnya setelah kasus Tolikara pada Juli 2015,” kata Adriana Elisabeth di Jakarta, Jumat (30/10/2015).

Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI itu mengatakan, terdapat 12 kasus kekerasan yang tercatat oleh media nasional dan lokal dalam tiga bulan terakhir. Kasus kekerasan tersebut beragam mulai dari penculikan, penembakan, penangkapan maupun pembunuhan.

Menurut Adriana, kekerasan di Papua cenderung meningkat karena adanya regionalisasi isu Papua di kawasan Pasifik Selatan, situasi menjelang pemilihan umum kepala daerah serentak pada Desember 2015 dan pembentukan Komando Daerah Militer (Kodam) di Manokwari.

“Isu Papua telah berhasil dibawa ke kawasan Pasifik Selatan di kalangan negara-negara Melanesia. Saat ini, kebijakan politik Kementerian Luar Negeri di kawasan Pasifik Barat sudah cukup baik, tetapi tidak cukup hanya Kementerian Luar Negeri,” tuturnya.

Adriana mengatakan bangsa Indonesia harus memahami bahwa sebagian Indonesia juga merupakan bagian dari Melanesia. Karena itu, jangan sampai ada upaya memisahkan Papua dari Indonesia karena masyarakatnya adalah bangsa Melanesia, bukan Indonesia.

“Indonesia itu juga Melanesia. Melanesia juga ada di Indonesia. Itu yang harus dipahami,” ujarnya.

Adriana menilai momentum pemilihan umum kepala daerah serentak di Papua juga perlu diantisipasi agar tidak menimbulkan kekerasan, baik antara aparat dengan masyarakat maupun masyarakat dengan masyarakat.

Selain itu, rencana pembentukan Kodam di Manokwari juga berpotensi menimbulkan konflik di Papua di saat pemerintah sudah mulai mengedepankan pendekatan dialog.

“Terjadi suatu kontradiksi antara pendekatan dialog dengan pembentukan kodam yang merupakan pendekatan pertahanan dan keamanan. Apa urgensi pembentukan Kodam di Papua?” tanyanya. [beritasatu.com]

Senin, 14 September 2015

Aku Hanya Ingin yang Terbaik untuk Papua


Secara ras, Papua memang beda dengan ras melayu. Papua merupakan ras melanesia, yang secara fisik bercirikan kulit hitam dan rambut kriting. Posisinya yang secara geografis berada di ujung timur Indonesia, membuatnya terhimpun dengan ras melanesia lainnya seperti warga Maluku dan warga NTT (Nusa Tenggara Timur) yang juga berkulit hitam dan berambut kriting. Lebih dari itu, ditinjau secara geografis, Papua juga terhimpun dengan saudara-saudaranya ras melanesia di luar batas negara. Secara geografis, sekalipun berbeda kenegaraan, Papua terhimpun dalam ras melanesia dengan PNG (Papua New Geanue), Vanuatu, Kep. Solomon, Fiji dan Keldonia Baru.

Atas ras melanesianya tersebutlah, sebagian kecil warga Papua, kini terjebak dalam rasisme atau kesukuan. Mereka merasa diri berbeda dengan bangsa Indonesia, karena menurut mereka Indonesia adalah ras melayu, jauh berbeda dengan mereka yang ber-ras-kan melanesia. Mereka merasa orang-orang Indonesia adalah orang-orang yang berkulit putih, kuning langsat, sawo matang dan berambut lurus, berbeda dengan mereka yang berkulit hitam dan berambut kriting. Selain itu, mereka juga merasa bahwa dengan berbedanya ras tersebut, kebudayaan dan adat istiadat yang mereka miliki, juga jauh berbeda dengan kebudayaan dan adat istiadat Indonesia.

Dengan terjebaknya mereka ke dalam rasisme tersebut, mereka merasa tidak bangga tergabung ke dalam bangsa Indonesia yang pada kenyataannya, Indonesia memang bukanlah ras melanesia, namun juga bukan ras melayu. Indonesia bukanlah bangsa yang hanya terdiri dari suku Aceh, Alas, Devayan, Gayo, Batak, Minangkabau, Nias dan suku-suku lainnya yang hanya terhimpun dalam Pulau Sumatra, atau Indonesia juga bukanlah bangsa yang hanya terdiri dari suku Jawa, Sunda dan Betawi yang hanya terhimpun dalam pulau Jawa. Indonesia adalah bangsa majemuk, yang kaya akan ras, yang dengannya ia terbangun dari semua suku yang terhimpun dari semua pulau-pulau yang ada di Indonesia, mulai dari Sumatera hingga Papua.

Untuk lebih memperkaya pengetahuan, berikut penulis lampirkan daftar suku bangsa Indonesia berdasarkan provinsi, yang disadur dari https://id.wikipedia.org.

Aceh : Suku Aceh, Alas, Devayan, Gayo, Haloban, Kluet, Lekon, Pakpak, Sigulai, Singkil, Tamiang, Minangkabau, Aneuk Jamee.

Sumatera Utara : Suku Batak Angkola, Batak Karo, Batak Mandailing, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Toba, Minangkabau, Melayu, Nias.

Kepulauan Riau : Suku Melayu, Suku Laut (Orang Laut/Orang Sampan), Orang Barok, Orang Bentan, Orang Bulang, Orang Galang, Orang Kanaq, Orang Ladi, Orang Laut Kappir, Orang Mantang, Orang Mepar, Orang Moro, Orang Muka Kuning, Orang Nanga, Orang Posik (Pusek/Persik), Orang Sebarok, Orang Sengkanak, Orang Sugi, Orang Tambus, Orang Teluk Nipah, Orang Trong, Etnis Tionghoa (Hainan, Hakka, Hokkien, Tiochiu).

Sumatera Selatan dan Bangka Belitung : Ameng Sewang, Anak Dalam, Bangka, Belitung, Daya, Musi Banyuasin, Musi Sekayu, Ogan, Enim, Kayu Agung, Kikim, Komering, Lahat, Lematang, Lintang, Kisam, Palembang, Pasemah, Padamaran, Pegagan, Rambang Senuling, Lom, Mapur, Meranjat, Musi, Ranau, Rawas, Saling, Sekak, Semendo, Pegagan Ilir, Pegagan Ulu, Penesak, Pemulutan.

Bengkulu dan Lampung
: Bengkulu, Pasemah, Kedurang Padang Guci, Rejang, Enggano, Kaur, Serawai, Lembak, Mulo-muko, Suban, Pekal, Batin, Pindah, Lampung.

Jakarta : Suku Betawi, Sunda, Jawa, Etnis Tionghoa, Batak, Minangkabau.

Jawa Barat dan Banten : Suku Sunda, Betawi, Badui, Jawa, Cirebon.

Jawa Tengah : Suku Jawa, Sunda.

Jawa Timur : Suku Jawa, Bawean, Tengger, Osing, Madura.

Kalimantan Barat : Suku Melayu, Dayak.

Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan : Suku Banjar, Dayak, Bugis.

Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara : Suku Banjar, Kutai, Berau, Dayak.

Bali dan Nusa Tenggara Barat : Suku Bali, Loloan, Nyama Selam, Trunyan, Bayan, Dompu, Donggo, Kore, Nata, Mbojo, Suku Sasak, Suku Sumbawa.

Nusa Tenggara Timur : Abui, Alor, Anas, Atanfui, Suku Atoni, Babui, Bajawa, Bakifan, Blagar, Suku Boti, Suku Bunak, Deing, Ende, Faun, Flores, Hanifeto, Helong, Kabola, Karera, Kawel, Kedang, Suku Kemak, Kemang, Kolana, Kramang, Krowe Muhang, Kui, Labala, Lamaholot, Lemma, Lio, Suku Manggarai, Maung, Mela, Modo, Muhang, Nagekeo, Ngada, Noenleni, Riung, Rongga, Rote, Sabu, Suku Sika, Suku Sumba, Tetun, Marae.

Sulawesi Utara dan Gorontalo : Bantik, Bolaang Uki, Borgo, Suku Gorontalo, Suku Kaidipang, Suku Minahasa, Suku Mongondow, Polahi, Ponosakan, Ratahan, Suku Sangir, Talaud, Tombulu, Tonsawang, Tonsea, Tonteboran, Toulour.

Sulawesi Tengah : Bada, Pamona, Bajau, Balaesang, Balantak, Banggai, Bungku, Buol, Dampelas, Dondo, Kahumamahon, Kaili, Muna, Tomia, Wakotobi, Wawonii, Kulawi, Saluan.

Sulawesi Tenggara : Buton, Tojo Una-una, Tolaki (Kota Kendari, Kab : Konawe, Konewe Selatan dan Utara), Moronene (Kab. Bombana), Labeau, Tomboki, Wuna (Kab. Muna), Wolio(Kab.Buton/Kota Bau-Bau), Mekongga (Kab. Kolaka/Kolaka Utara), Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, Binongko (Kab. Wakatobi).

Sulawesi Barat : Pattae, Mandar, Dakko, Pannei, Pattinjo.

Sulawesi Selatan : Bentong Duri, Luwu, Makasar, Massenrempulu, Bugis, Duri, Daya Selayar, Toala, Toraja, Oro dipedalaman Bone selatan (Bonto Cani), Bajo di pesisir Teluk Bone, Pulau Sembilan Sinjai, Selayar.

Maluku dan Maluku Utara : Alune, Ambon, Aru, Babar, Bacan, Banda, Bulli, Buru, Fordata, Galela, Gane, Gebe, Halmahera, Haruku, Jailolo, Kei, Kisar, Laloda, Leti, Lumoli, Maba, Makian, Mare, Memale, Moam, Modole, Morotai, Nuaulu, Pagu, Patani, Pelauw, Rana, Sahu, Sawai, Seram, Taliabo, Tanimbar, Ternate, Tidore, Tobaru, Tobelo, Togutul, Wemale, Wai Apu, Wai Loa, Weda.

Papua dan Papua Barat : Aero, Airo Sumaghaghe, Airoran, Ambai, Amberboken, Amungme, Dera, Edopi, Eipomek, Ekagi, Ekari, Emumu, Eritai, Fayu, Foua, Gebe, Gresi, Hattam, Humboltd, Hupla, Inanusatan, Irarutu, Isirawa, Iwur, Jaban, Jair, Kabari, Kaeti, Pisa, Sailolof, Samarokena, Sapran, Sawung, Wanggom, Wano, Waris, Watopen, Arfak, Asmat, Baudi, Berik, Bgu, Biak, Borto, Buruai, Kais, Kalabra, Kimberau, Komoro, Kapauku, Kiron, Kasuweri, Kaygir, Kembrano, Kemtuk, Ketengban, Kimaghama, Kimyal, Kokida, Kombai, Korowai, Kupul, Kurudu, Kwerba, Kwesten, Lani, Maden, Sawuy, Sentani, Silimo, Tabati, Tehid, Wodani, Ayfat, Yahrai, Yaly, Auyu, Citak, Damal, Dem, Dani, Demisa, Demtam, Mairasi, Mandobo, Maniwa, Mansim, Manyuke, Mariud Anim, Meiyakh, Meybrat, Mimika, Moire, Mombum, Moni, Mooi, Mosena, Murop, Muyu, Nduga, Ngalik, Ngalum, Nimboran, Palamui, Palata, Timorini, Uruway, Waipam, Waipu, Wamesa, Yapen, Yagay, Yey, Anu, Bas.




  Dari apa yang dipaparkan oleh wikipedia.org terkait suku-suku yang menghuni wilayah Indonesia, terlihat dengan jelas bahwa Indonesia merupakan bangsa majemuk, yang kaya akan ras, yang merupakan himpunan dari suku-suku yang tergabung di dalamnya. Bangsa Indonesia bukanlah bangsa melayu, juga bukanlah bangsa melanesia. Bangsa Indonesia bukanlah bangsa batak, bangsa dayak, atau bangsa-bangsa lainnya, namun Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari semua bangsa itu. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari bagngsa melanesia, melayu, sunda, jawa, batak, dayak dan bangsa-bangsa lainnya, sebagaimana yang sudah ditulis sebelumnya.

Hanya saja, sayangnya, dengan adanya rasisme atau kesukuan yang terjadi kepada sebagian warga pribumi Papua, kini mereka menuntut kemerdekaan, yang dalam hal ini mereka bermaksud menginginkan Papua yang berdiri sendiri sebagai sebuah negara dan terpisah dari Indonesia. Mereka ingin mendirikan sebuah negara Papua, yang mana di dalamnya hanyalah orang-orang Papua (ras melanesia) saja. Sungguh hal ini disayangkan, dan tentu tidak bisa dibiarkan.

Sikap rasisme ini, muncul karena adanya sifat egois dan keidividuan. Sikap ini sangat berbahaya, karena hanya akan menimbulkan perpecahan. Bukan tidak mungkin, bagi orang-orang yang tervirusi oleh sikap rasisme ini, berikutnya akan terjebak ke dalam sikap keindividuan yang lebih sempit. Misalnya, Papua yang terdiri banyak suku, pada akhirnya nanti akan saling berperang antra suku tersebut dikarenakan adanya persaingan kesukuan di antara mereka. Selain itu, dengan sikap ini, akhirnya bisa menimbulkan perpecahan antar orang pegunungan dan orang pantai, antar orang Jayapura dan Timika, antar orang Biak dan Sorong, dan seterusnya. Dengan demikian, sikap rasisme ini tidak bisa dibiarkan.

Kita, dan juga terutama mereka, harus menyadari bahwa dalam hidup ini, kita semua diwarnai dengan penuh keberagaman. Kita dan mereka harus menyadari bahwa perbedaan suku dan ras, adalah salah satu warna dari keberagaman kehidupan ini. Dengan demikian, kita dan mereka akan menyadari betapa pentingnya persatuan di antara keberagaman ini. Terlebih dari itu, kita semua harus bangga dengan semua itu. Dengan demikian pula, kita semua harus bangga dengan keberagaman ras bangsa kita, bangsa Indonesia. Dengan keberagaman yang kita miliki, kita telah memiliki identitas tersendiri, yang unik dan khas. Kita sebagai bangsa yang majemuk ini, dengan bangga telah memiliki rasa persatuan, yang mungkin tidak banyak dimiliki oleh bangsa-bangsa di negeri-negeri yang lain.
Untuk itu, mari kita senantiasa jaga persatuan ini, mari kita jaga Papua untuk keutuhan bangsa yang kaya, bangsa Indonesia. SAVE PAPUA FOR NKRI !!!

Senin, 31 Agustus 2015

Jangan Nodai Greja-Greja Papua !!!


 * Menuai hikmah, dari sebuah kisah
# Alkisah, suatu hari seorang pemuda cerdas yang berbadan legam dan gagah, pergi berkelana mencari sesuatu yang terkuat di dunia ini. Langkah demi langkahpun ia tapakkan, berkelana mencari jawaban tentang sesuatu yang menjadi tanya dalam dirinya. Langkah kakinya nampak pasti, tatapannya tajam, pikiriannya menerawang jauh menembus penjuru-penjuru cakrawala dunia.

Singkat cerita, si pemuda tersebutpun akhirnya berlabuh terhadap sebuah jawaban. Ia menemukan bahwa yang terkuat di dunia ini adalah besi. Jawaban tersebut ia dapatkan ketika ia tertegun melihat pasak-pasak besi yang mampu menopang gedung-gedung tinggi dan ketika ia melihat lempengan-lempengan besi yang mampu menjadi tameng dari tank-tank tempur. Ia begitu takjub terhadap kekuatan dan kehebatan besi-besi itu, hingga akhirnya, dalam alam pikirannya ia pun bergumam, “ternyata yang terkuat di dunia ini adalah besi”.

Namun tak lama setelah itu, tanpa disangka ia pun mulai heran ketika melihat besi-besi itu meleleh saat terbakar dalam kobaran api. Besi yang ia anggap terkuat sebelumnya itu, harus luluh tak berdaya ketika dihadapkan dengan panasnya api. Darinya, kemudian ia pun mulai meragukan akan kekuatan besi. Pikirannya mulai beralih, ia yang tadinya meyakini bahwa besilah yang terkuat, kini mulai meyakini bahwa yang terkuat adalah api, bukanlah besi.

Tak lama setelah itu, ia pun harus terheran lagi ketika melihat api yang berkobar-kobar harus padam kala dihadapkan dengan air. Tak disangkanya, ternyata, api tidaklah sekuat apa yang ia bayangkan. Melihat api yang tidak berdaya di hadapan air, kemudian iapun mulai mengalihkan kembali keyakinannya, meyakini bahwa yang terkuat di dunia ini adalah air, bukanlah api dan besi.

Begitulah seterusnya. Dalam pencariannya tersebut, keyakianannya terhadap sesuatu yang terkuat di dunia ini, harus berubah-ubah seiring dengan berubahnya setiap jawaban yang  ditemukannya. Ia yang terakhir kali menemukan jawaban bahwa airlah yang paling kuat di dunia ini, keyakinannya teralihkan kepada uap (angin) tatkala ia melihat air tak kuasa menahan dirinya yang harus menguap dan terombang ambing bersama angin. Dengan demikian, iapun meyakini yang terkuat adalah angin.

Begitu pulalah ketika ia melihat angin itu tak berdaya menerpa gunung, iapun meyakini bahwa gununglah yang terkuat. Selanjutnya ketika ia melihat manusia mampu menginjakkan kakinya di atas gunung, bahkan yang tertinggipun, iapun meyakini bahwa manusialah yang terkuat. Selanjutnya ketika ia melihat manusia tidak kuasa melawan rasa kantuk, iapun meyakini bahwa rasa kantuklah yang terkuat. Selanjutnya ketika ia melihat bahwa rasa gelisah mampu menghilangkan rasa kantuk yang dirasakan seseorang, iapun meyakini bahwa rasa gelisahlah yang terkuat. Terakhir, ketika ia melihat kekuatan iman seseorang mampu menghilangkan rasa gelisah seseorang, iapun meyakini, bahwa kekuatan imanlah yang terkuat.

Dengan demikian, dalam pencariannya menemukan sesuatu yang terkuat di dunia ini, si pemuda itupun berlabuh pada jawaban terakhir yang ditemukannya, yakni, bahwa yang terkuat di dunia ini adalah “Kekuatan Iman”.

# Cerita tersebut, bukanlah cerita nyata. Namun, dari cerita tersebut, penulis bermaksud menuai hikmah bahwa betapa besarnya arti kekuatan iman dan betapa pentingnya ia dalam kehidupan.

Dalam kehidupan ini, kita dapat melihat banyak fakta. Dengan kekuatan iman, seseorang mampu melakukan apapun, bahkan terhadap sesuatu yang secara akal normal biasa, bisa dianggap sebagai sesuatu yang konyol.

Misalnya, dengan kekuatan iman, kita melihat bahwa seseorang mampu untuk tidak menikah dalam seumur hidupnya (biarawati, pastur dan biksu), yang mana hal tersebut adalah hal yang tak mungkin mampu dilakukan manusia secara umum, terlebih bagi para penggila seks.

Misal yang lain, dengan kekuatan iman, kita dapat melihat seseorang mampu melakukan bom bunuh diri ataupun melakukan pembunuhan secara sadis, sebagaimana kita lihat fenomena itu pada orang-orang ISIS (Islamic State Iraq and Suria - organisasi teroris -). Sekalipun hal tersebut nampak tidak masuk akal di pikiran kita, tapi mereka melakukannya atas nama iman mereka terhadap sesuatu yang diyakininya.

Demikianlah kekuatan iman, yang pada dasarnya ia adalah sesuatu yang sangat baik, namun akan salah kaprah bila ia teraplikasikan terhadap keimanan yang salah, sebagaimana pada misal di atas, kita lihat kekuatan iman itu teraplikasikan secara salah kaprah oleh kelompok teroris ISIS.


* Penyelewengan Iman, di Greja-Greja Papua.
Sebagaimana telah dipaparkan pada paragraf sebelumnya, bahwa kekuatan iman itu memiliki arti penting dalam kehidupan ini. Ianya, memiliki peran yang penting, baik secara individual, maupun secara sosial. Seperti perkara ISIS yang telah dicontohkan, ia kini bukan lagi suatu kejahatan yang bersifat individual, namun sudah bersifat sosial yang berpengaruh terhadap tataran kehidupan secara universal. Ia telah merambah dari timur tengah ke negeri barat, bahkan hingga ke negeri kita. Sudah bukan sesuatu yang diragukan lagi, bahwa simpatisan ISIS yang ada di negeri kitapun bukan satu atau dua orang lagi, namun sudah cukup banyak dan tersebar di berbagai wilayah.

# Kaitannya dengan hal tersebut, maka begitupun dengan wilayah Papua. Keyakinan umat dalam hal keimanan yang salah, akan berdampak besar bagi tatanan kehidupan Papua secara universal. Ianya, dapat menjadi salah satu faktor penentu arah perkembangan Papua ke depannya.

Dalam hal ini, para pemuka agama memiliki peranan yang besar. Sedikit saja mereka mengeluarkan stetmen sesuatu, maka umat akan dengan mudah untuk mengikutinya. Dengan demikian, maka apabila stetmen yang dilontarkan oleh para pemuka agama tersebut bersifat positif, tentu akan memberikan efek sosial yang positif. Namun, apabila stetmen yang dilontarkan oleh para tokoh agama bersifat negatif, maka sudah barang tentu ianya juga pasti akan memberikan efek sosial yang negatif bagi bangsa Papua.

# Kaitannya dengan hal tersebut, dan terkait mengenai isu dan permasalahan Papua, terutama dalam hal adanya sebagian kecil warga yang ingin mendisintegrasikan Papua dari NKRI, maka para pemuka agama memiliki peranan yang sangat penting.

Dalam hal ini, karena Papua secara mayoritas penduduknya beragama Nasrani, baik Khatolik maupun Protestan, maka para pendetalah yang memegang peranan ini. Sebagai pemuka agama, tindakan mereka dalam menyikapi hal ini, berpengaruh besar terhadap dampak yang bisa terjadi.

Selanjutnya, terkait isu krusial yang terjadi di Papua terkait adanya gerakan sebagian orang yang bersifat anarkis, seperti pada kelompok yang biasa disebut sebagai OPM (Organisasi Papua Merdeka), maka para pendeta diharapkan mampu memberikan nasehat-nasehat untuk mereka. Para pendeta diharapkan untuk memberikan pelajaran yang baik dan menyadarkan mereka.

Jangan sampai, para pendeta malah mendukung mereka, sebagaimana yang terjadi pada beberapa pendeta seperti Pdt. Dr. Benny Giay (Ketua Sinode Gereja Kemah Injil Papua), Pdt. Socratez Sofyan Yoma (Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua) dan Pdt. Selvi Titihalawa (senior Gereja Kristen Injili Papua). Mereka adalah para pemuka agama, yang diharapkan nasehat-nasehat baiknya oleh umat. Bila mereka setuju bahkan jika sampai mengeluarkan pernyataan dukungan kepada OPM, terlebih yang bersifat provokatif, maka hal ini akan sangat berbahaya untuk kedamaian Papua ke depannya. Bila dibiarkan, maka Papua akan terancam senantiasa tidak aman ke depannya. Papua akan senantiasa dipenuhi suasana konflik ke depannya.

Untuk itu, maka diharapkan kepada ketiga pendeta tersebut, begitu juga kepada para pendeta lainnya, untuk benar-benar mengajarkan hal-hal yang bersifat positif dan benar dalam  setiap khobahnya di greja-greja. Ajarkan cinta kasih sebagaimana ajaran Yesus yang diyakini. Ajarkan cinta damai untuk Papua, dan ajarkan untuk tidak berpecah seperti yang terjadi pada OPM.

Diharapkan kepada para pendeta, agar tidak menyelewengkan amanat dan kepercayaan yang telah diberikan umat di greja-greja tempat anda berkhotbah. Jangan nodai greja-greja dengan provokasi-provokasi yang mampu menimbulkan perpecahan. Ajaklah umat untuk segera menyadarkan mereka yang masih berpecah belah, yang masih mabuk-mabukan dan lain sebagainya untuk sama-sama membangun Papua ini bersama Pemerintah. (BW)

Jumat, 21 Agustus 2015

Mereka, Salah Memahami Kepedulian Pemerintah untuk Papua


*** Organisasi-organisai Kemerdekaan Papua
Tarik ulur isu Papua merdeka, sejak kelahirannya organisasi ataupun kelompok-kelompok yang menamakan diri sebagai nasionalis Papua, hingga kini belum juga tuntas.

Konon menurut sejarah, perseteruan ini dimulai sejak tahun 1962-an. Sesaat sebelum masa kepenjajahannya atas Papua harus berakhir dikarenakan desakan politik, tuntutan warga Papua dan warga Indonesia lainnya, serta tuntutan dunia internasional, mungkin masih demi kepentingan politiknya, Belanda saat itu sempat mendeklarasikan pendirian Negara Boneka yang didukung oleh sebagian kecil warga Papua yang berhasil dihasutnya.

Mungkin dari situlah, yang meskipun pada akhirnya usaha Belanda tersebut gagal, organisasi ataupun kelompok-kelompok yang bertujuan memisahkan Papua sebagai bagian dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) pun mulai bermunculan.  Mungkin dari situlah, organisasi-organisasi seperti OPM (Organisasi Papua Merdeka), WPNCL (West Papua National Liberation for Coalition), NRFPB (Negara Republik Federasi Papua Barat),  dan organisasi-organisasi lainnya hingga ULMWP (United Liberation Movement for West Papua) sebagai organisasi terbaru yang dalam kepentingan politiknya bertujuan memisahkan Papua dari NKRI ini pun bemunculan.

** Sepak Terjang Perjuangannya
Dalam perjuangan mencapai tujuannya, organisasi-organisasi pejuang kemerdekaan Papua (Penidistegrasian dari NKRI) tersebut berjuang dengan beragam cara. Mulai dari menghasut warga, hingga demontrasi-demontrasi yang rusuh. Mulai dari menyusup dalam pemerintahan, hingga membentuk militan-militan bersenjata yang bermukim di gunung-gunung. Mulai dari mengkampanyekan keinginannya di dalam negeri, hingga mengkampanyekannya di luar negeri.
Semua itu mereka lakukan hingga hari ini. Hanya saja, sayangnya mereka lakukan semua itu dengan menghalalkan segara cara dan tanpa memperhatikan etika-etika kebenaran. Dengan tanpa rasa malu, mereka menghasut warga. Dengan sikap penuh arogan, mereka melakukan demontrasi-demontrasi yang berakhir rusuh dan ricuh. Dengan jiwa yang kejam, mereka menembaki aparat yang sedang bertugas. Lebih dari itu, bahkan mereka menembaki warga biasa yang tidak tahu apa-apa. Mereka merampoki senjata-senjata aparat dan membakari honei-honey warga. Sungguh cara yang mereka lakukan itu tidak sesuai dengan norma.

Selain itu, ke dunia luar, di luar negeri dan di dunia internasional, mereka menyebarkan isu-isu yang tidak benar. Mereka menyebarkan isu bahwa di Papua terjadi Genocide, yang senyatanya tidak pernah terjadi. Mereka menyebarkan isu di Papua sering terjadi pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) oleh aparat dan pemerintahan, yang senyatanya tidak demikian. Mereka menyebarkan isu bahwa pemerintahan Indonesia melakukan penindasan terhadap warga Papua, yang senyatanya hal itu hanyalah isu belaka.

** Kebijakan Pemerintah yang mereka tidak/salahpahami
Kebijakan Pemerintah selama ini, tidaklah mereka (aktivis organisasi-organisasi Papua Merdeka) pahami, atau setidaknya, telah salah mereka pahami. Apapun kebijakan pemerintah, selalu dipandang sebelah mata oleh mereka. Kebijakan pemerintah, selalu dianggap salah oleh mereka.

Hal ini, ibarat sebuah cerita. Di suatu pasar, ada dua orang –bapak dan anak- dan satu ekor keledai muda yang dimiliki mereka, yang mana tindakan ayah adan anaknya tersebut selalu dipandang salah oleh masyarakat di pasar tersebut. Apabila sang bapak dan sang anak tersebut berjalan bertiga dengan keledainya, sebagian masyarakat di pasar akan menggunjingnya dengan gunjingan, kenapa si bapak dan si anak itu begitu bodoh, punya keledai, tapi tidak ditunggangi. Di lain hal, bila si bapak dan si anak tersebut menunggangi keledai mudanya berdua bersama-sama, sebagian masyarakat pasar akan menggunjing, kenapa si bapak dan si anak itu begitu tega, keledainya masih muda tapi ditunggangi oleh berdua. Di lain hal pula, bila si bapak itu berjalan sedangkan si anak saja yang menunggangi keledai mereka, sebagian masyarakat itu akan menggunjing, kenapa si anak itu tidak punya etika, membiarkan bapaknya berjalan sedangkan ia enak-enak di atas keledai. Di lain hal juga, bila si bapak yang menunggangi keledainya, sedangkan si anak berjalan kaki, maka sebagian masyarakat di pasar itu akan menggunjing, kenapa si ayah itu begitu tega, membiarkan anaknya jalan, sedangkan ia enak-enak di atas keledai. Di lain hal juga, bila si bapak tadi dan si anak tadi berjalan kaki dua-duanya, kemudian keledainya itu mereka pikul, masyarakat di pasar itu akan menggunjing, betapa bodohnya mereka berdua (si bapak dan si anak), keledai itu untuk ditunggangi, kok malah mereka pikul.
Walhasil, dari cerita tersebut, bisa ditarik hikmah bahwa apapun yang dilakukan oleh si bapak dan si anak tadi dengan keledainya, akan ada yang selalu memandang mereka salah. Begitu pula dengan kebijakan Pemerintah terhadap Papua ini, terkadang selalu dipandang salah oleh mereka (aktivis organisasi-organisasi Papua Merdeka).

Bagaimana tidak, Pemerintah memberikan kebijakan Otsus (Otonomi Khusus), jangankan berterimakasih, mereka malah salah memahami.

Bagaimana tidak, Pemerintah menggalakkan percepatan pembangunan Papua melalui UP4B (Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat), jangankan berterimakasih, mereka malah salah memahami, atau bahkan mereka malah ada yang menghambat upaya tersebut.

Bagaimana tidak, Pemerintah menugaskan para aparatnya untuk menjaga keamanan, mereka malah menembakinya, yang kemudian kalau mereka dibalas, mereka akan berteriak aparat melakukan pelanggaran HAM.

Bagaimana tidak, Pemerintah memberikan bantuan layanan kesehatan untuk mereka, tapi mereka malah menyebarkan isu genocide. Bagaimana mungkin Pemerintah yang memberikan kebijakan pelayanan kesehatan, yang itu artinya ingin warga-warganya di Papua sehat-sehat, malah dikatakan genocide ?

Bagaimana tidak, Filep Karma tahanan politik yang kini mau dberi grasi oleh Presiden, jangankan berterimakasih, malah menolaknya.

Ah sungguh mereka ini tidak paham, atau setidaknya selalu salah memahami Pemerintah. Semoga saja mereka akan segera sadar. Semoga saja mereka segera turut membantu Pemerintah membangun Papua kita ini. Semoga sajamereka segera turut membantu Pemerintah mencerdaskan Papua kita ini. Semoga saja, amin... !!!

Rabu, 19 Agustus 2015

Gonjang Ganjing Penolakan Remisi Filep Karma

*** Filep Karma tolak remisi, ada apa dengannya ???



Tiga bulan yang lalu, tepatnya tanggal 09 Mei 2015 Presiden RI Ir. Jokowidodo dalam kunjunggannya ke Papua secara khusus mengagendakan diri berkunjung ke Lapas (Lembaga Pemasyarakatan) Abepura Papua. Kunjungan tersebut, beliau lakukan sebagai wujud kepedulian dirinya sebagai pemimpin negara terhadap para tahanan di sana. Sebagai bapak negara, sekalipun di mata hukum mereka para tahanan tersebut adalah pelaku kriminal dan kejahatan, namun beliau memandang bahwa mereka juga berhak dan layak untuk mendapatkan perhatian.

Lebih dari itu, ternyata perhatian yang diberikan bapak Presiden tak hanya sekedar kunjungan. Kedatangan beliau di Lapas Abepura tersebut, membawa angin segar bagi 5 tahanan yang telah divonis kurungan penjara jangka lama, belasan tahun bahkan ada yang seumur hidup.

“Ini adalah langkah awal. Sesudah ini akan diupayakan pembebasan para tahanan lain di daerah lain juga. Ada 90 yang masih harus diproses,”. Demiakian ucap beliau saat memberikan grasi kepada Linus Hiel Hiluka dan Kimanus Henda (keduanya divonis 19 tahun 10 bulan), Jefrai Murib dan Numbungga Telenggen (keduanya divonis seumur hidup), serta Apotnalogolik Lokobalm (vonis 20 tahun) seperti dilansir oleh http://www.fak-fak.com/2015/05/presiden-jokowi-beri-grasi-untuk-lima.html.
Presiden Jokowi saat memberikan grasi kepada 5 tapol di Lapas Abepura Papua





* Filep Karma
Saat itu, sebenarnya pemberian grasi oleh bapak Presiden hendak diberikan untuk 6 orang, hanya saja satu tahanan atas nama Filep Karma menolaknya. Entah apa masalah sebenarnya, Filep Karma menolak perhatian dari bapak Presiden tersebut. Dalam penuturannya, pak Presiden mengatakan bahwa F. Karma menolak karena ia menginginkan amnesti, bukan grasi.

“Benar bahwa saya mengusahakan pembebasan Filep Karma. Namun, saya maunya proses grasi. Sedangkan dia maunya amnesti. Ini rumit karena harus bicara dengan DPR. Saya nggak tahu apakah DPR akan setuju,” ujar beliau (Bapak Presiden).

** Siapakah Filep Karma ?

Filep Karma adalah salah satu tahanan politik, yang ditahan sejak 2004 silam hingga sekarang dan untuk beberapa tahun ke depan (dihitung sesuai vonis hukumannya 14 tahun kurungan penjara). Namun, atas perhatian bapak Presiden kepadanya dan 5 tahanan lainnya saat berkunjung ke Papua Mei  lalu, ia diupayakan untuk dibebaskan melalui grasi. Hanya saja, karena keegoisannya, sayangnya ia (F. Karma) menolak perhatian bapak Presiden tersebut.

Filep Karma, sekitar 11 tahun yang lalu, ia melakukan tindakan makar. Alih-alih melalui ungkapan halusnya menyampaikan aspirasi, ia malah memprovokasi masyarakat. Ia mengajak sebagian masyarakat Papua untuk memisahkan diri dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Dari tindakannya tersebut, ia dijerat oleh pasal 106 KUHP (Kitab Undang Undang Hukum Pidana).

Pasal 106 : Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dan wilayah negara, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

Karena tindakannya sendirilah ia dipenjarakan. Bagaimana tidak, tindakannya nyata-nyata melanggar hukum negara. Lebih dari itu, tindakannya tersebut juga akan menuai pro dan kontra, yang dengan demikian tentu akan mengundang perpecahan yang pada akhirnya menimbulkan kekacauan. Dengan demikian, tidak heranlah jika sejak saat itu ia divonis 14 tahun kurungan penjara.

** HUT NKRI dan Grasi dan Kebodohan Filep Karma.
Beberapa bulan berlalu (Mei), penolakan yang dilakukan Filep Karma terhadap grasi bapak Presiden, kini terulang kembali.

Dalam momen bahagia HUT (Hari Ulang Tahu) NKRI yang ke 70, atas kemurahannya, bapak Presiden kembali hendak memberikan grasi kepada Filep Karma. Ia direncanakan akan dibebaskan dengan grasi pada kamis 20 Mei besok. Namun sayangnya, dengan alasan yang sama, lagi-lagi ia menolak grasi yang diberikan. Ia berapologi bahwa pemberian grasi tersebut berdampak degradasi terhadapnya selaku tapol (tahanan politik) menjadi pelaku kriminal. 11 tahunan penjara mengurungnya, ternyata belum juga menyadarkannya bahwa ia memang telah melakukan kriminal (makar) seperti yang sudah dijelaskan pada paragraf sebelumnya).

Lebih dari itu, menariknya, dalam mengomentari upaya grasi terhadapnya ini, Filep mengatakan bahwa pemerintah tidak memiliki itikad baik terhadap Papua. Hal ini sebagaimana dilansir oleh  tapanews.com dalam beritanya berjudul “Filep Karma: Indonesia Tidak Menunjukkan Itikad Baik” (17/08).

Sungguh sangat disayangkan, perhatian, kepedulian dan itikad baik bapak Presiden yang ingin memberikan grasi terhadapnya, jangankan dirasakannya, dilihatnya saja tidak. Entah apa yang telah menutupi matanya sehingga tidak mampu melihat itikad baik dari bapak presiden terhadap dirinya tersebut.

Lebih dari itu, Filep Karma sungguh terjebak dalam pola pikir yang salah. Dia berfikir bahwa, gagasan Papua Merdeka-nya (Terpisah dari NKRI) adalah sebuah ideologi. Tidak, tidak sama sekali. Gagasan tersebut, bukanlah ideologi, karena hasrat Papua Merdeka hanyalah angan-angan belaka. Bila ingin dikatakan ide, atau setidaknya gagasan, bolehlah. Namun, bila hal itu ingin dikatakan sebagai ideologi, tidak sama sekali.

Lebih dari itu pula, keterjebakannya dalam angan-angan gagasan Papua Merdeka-nya tersebut, telah membuat ia harus hidup menderita terkurung dalam penjara. Tidakkah ia berfikir bahwa hidup bebas di luar penjara, membantu pembangunan Papua, mencerahkan pemikiran masyarakat, memberikan pendidikan kepada anak-anak, serta turut serta membantu pemerintah dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi Papua untuk bangkit dan membangunnya sebagaimana moto bapak Gubernur Lukas Enembe “Papua Bangkit Mandiri dan Sejahtera” adalah lebih baik baginya ??? Sungguh disayangkan, cara fikirnya terlalu pendek dan lemah. Tenaga dan fikirannya, selama ini hanya habis untuk suatu hal yang sia-sia. Betapa tidak, apakah hasil dari tindakannya selama ini turut membantu mencerdaskan Papua? Apakah hasil dari tindakannya selama ini, turut membantu pembangunan di Papua ? Tidak !!! Tidak sama sekali.

Sebagai tantangan, bila benar ia memiliki gagasan ideologi Memerdekakan Papua, sudahkah ia membuat konsepnya ? Sudahkah ia memperhitungkan bila seandainya Papua benar-benar terpisah dari NKRI maka Papua akan bertambah maju olehnya ? Ataukah akan semakin terpuruk ?
Sungguh sangat disayangkan, ia benar-benar terjebak dalam khayal gagasannya. Dengannya, ia sampai berfikir bahwa Pemerintahan tidak memiliki itikad baik terhadap Papua.

Tidakkah ia lihat Papua kini semakin maju ? Tidakkah ia lihat insfrastuktur bangunan Papua semakin membaik ? Tidakkah ia melihat kepedulian yang lebih yang diberikan oleh Pemerintah untuk Papua berupa Otsus (Otonomi Khusus) yang tidak diberikan pemerintah kepada provinsi-provinsi lainnya ? Tidakkah ia melihat kepedulian pemerintah menggalakkan UP4B (Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat) ???

Mungkin memang benar apa yang dikata pepatah, semut di sebrang nampak jelas terlihat, sedangkan gajah di pelupuk mata tak terlihat sama sekali. Gagasan kosongnya telah menutup mata nuraninya selama ini, sehingga jangankan mendukung dan berterimakasih terhadap upaya pemerintah, melihat dan merasakannya saja tidak sama sekali.

Sekali lagi, tindakan Filep Karma ini sungguh sangat disayangkan. Namun demikian, sebagai saudaranya kita masih tetap berharap bahwa ia akan segera sadar atas kebodohannya selama ini.
Mari Merdekakan Papua dalam makna sesungguhnya, bukan dalam makna khayalan Filep Karma. Mari kita Merdekakan Papua dengan mengajak diri dan orang-orang di sekitar kita untuk memberikan sebanyak mungkin yang kita bisa berikan kepada Papua dan negeri kita. Mari kita rajin belajar, rajin bekerja, stop budaya mabuk, seks bebas dan tindakan negatif lainnya.

*** Mari Tong Benar Benar Merdekakan Papua !!!

Selasa, 24 Maret 2015

Goliath Tabuni, Tunjukkan Jalan Yang Benar Kepada OPM, KNPB Dkk, dengan Kembali Ia Ke Pangkuan NKRI


Suatu karunia yang luar biasa, Goliath Tabuni yang selama ini dikenal sebagai pemimpin tertinggi (Panglima Perang) OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang begitu kuat mempertahankan ideologi OPM, akhirnya iapun kini kembali menyatakan diri sebagai bagian dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Ia bersama anak buahnya yang berjumlah sekitar 23 orang yang selama ini hidup kesusahan di dalam hutan, akhirnya kembali berbaur dengan masyarakat. Mereka tidak lagi kelaparan dan kesusahan, kini mereka tinggal di tempat yang layak sebagaimana masyarakat yang lainnya.

OPM memang ideologi yang keliru, ideologi yang muncul dari rasa keputus asaan. Bertahun-tahun keberadaannya di atas gunung, Goliath Tabuni akhirnya menyadari bahwa ideologi OPM tidaklah benar. OPM hanyalah sebuah organisasi yang meyakini ideologi atas dasar keputus asaan, putus asa karena merasa tidak mendapatkan keadilan dan kesejahteraan. Mereka meyakini bahwa bangsa serumpunnya bangsa Papua, selama ini hidup termarginalkan, hidup kesusahan dan kurang mendapatkan perhatian pemerintahan. Padahal, tidaklah demikian adanya. Akhirnya, Goliath Tabuni bersama anak buahnya, sebagaimana Nicholas Jouwe yang bahkan sebagai pendiri OPM pertama kalinya, akhirnya menyadari bahwa selama ini mereka hanyalah terbutakan oleh ideologi itu.
Kini, mereka menyadari bahwa selama ini, Pemerintah telah memberikan perhatian yang begitu besar untuk bangsa Papua. Otsus (Otonomi Khusus) misalnya. Dari namanya saja, sudah tergambar jelas bahwa Papua telah diberikan keistimewaan secara khusus. Yang mana itu artinya, bangsa Papua telah mendapatkan perhatian secara khusus, mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya.

Kenyataanpun, membuktikan demikianlah adanya. Hari ini, dapat kita rasakan bersama kemajuan bangsa Papua. Wilayahnya semakin maju, fasilitas-fasilitas semakin membaik, gedung-gedung, mall-mall, hotel-hotel dan lain sebagainya kini sudah terbangun hampir di seluruh wilayah Papua. SDM (Sumber Daya Manusia)-nya pun demikian. Kini, bukan satu dua orang lagi bangsa asli Papua yang menjadi ikon Negeri. Banyak pejabat pemerintahan yang berasa dari Papua, kaum intelektual, artis dan lain sebagainya. Nowela-lah misalnya, tidak tanggung-tanggung, ia bahkan menjadi number-one dalam laga idol. Atau dalam misal lainnya, seperti Muhamad Rivai Darus. Seorang Pemuda asli Papua, yang menjadi kebanggan negeri. Belum lama ini, ia baru saja terpilih sebagai ketua KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia).

Sejatinya, Papua mampu bangkit, mampu maju bersama-sama dengan saudara-saudaranya yang lain dari seluruh pelosok negeri. Papua mampu menjadi bangsa yang besar, bangsa yang bersatu dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Papua bukanlah bangsa yang kecil, bangsa yang menginginkan permusuhan serta keterceraiberaian. Tuhan-pun tidak menyukai perpecahan. Bangsa Papua sebagai bangsa yang taat pada Tuhan, sudah selayaknya mencintai persatuan, sebagaimana perintahNya.

Kini, Goliath Tabuni bersama anak buahnya telah kembali ke dalam pemikiran yang benar, bersatu dalam keluarga besar NKRI. Ia telah menunjukan jalan yang semestinya. Untuk itu, kepada pihak-pihak yang kini masih menginginkan terpisahnya Papua dari NKRI, agar segera sadar  dan mengikuti jekjak Goliath Tabuni. Organisasi-organisasi seperti KNPB (Komite Nasional Papua Barat), ULMWP, dsb... semoga segera tercerahkan dengan jalan yang telah ditunjukkan oleh Goliath Tabuni bersama anak buahnya.

Senin, 23 Maret 2015

LUGU-NYA KNPB dan Kawan-Kawannya, Menjadi Alat Negara Adikuasa


Hari ini, hari-hari di mana dunia ini dipenuhi dengan perang. Ada yang bermain di bidang politik, energi, ekonomi, sosial, dan lain sebagainya. Semuanya, bermula dari persaingan kepentingan pribadi, yang dipenuhi dengan penyakit keserakahan dan ketakutan tersisihkan.

Dahulu kala, kita tahu bahwa Jepang, Belanda, Inggris dan banyak negara-negara lainnya, pernah menorehkan tinta hitamnya di negeri ini dan negeri-negeri lainnya. Mereka menjadi aktor utama yang tampil sebagai sang diktator dunia. Dengan jiwa keserakahan yang haus akan kekuasaan, mereka berkelana ke sana dan ke mari, pergi dari negerinya untuk mengindas kebebasan negara-negara lainnya, yang berada dalam posisi lemah. Sungguh kita sebagai bagian negeri ini, pernah merasakan, atau setidaknya kita pernah mendengar cerita pahit itu dari para pendahulu kita.


Ironis, kepenjajahan negara-negara serakah periode silam itu, mereka tampak secara jelas. Mereka tampil secara terang-terangan, menunjukkan wajahnya sebagai penjajah, yang tentu dapat kita saksikan secara kasat mata. Khususnya di negeri kita ini, yang paling mudah saja kita lihat, adalah kepenjajahan mereka secara teritorial. Mereka menduduki berbagai wilayah negeri ini, bahkan hingga ke pelosok-pelosok yang terpencil. Mereka menjajah kita, dalam waktu yang tidak sedikit. Misalnya Jepang saja, bukan satu atau dua tahun mereka berdiri dengan kecongkakannya, menindas kebebasan di negeri kita sendiri ini. Lebih dari itu, kita tahu bahwa Belanda, ia bahkan menjajah negeri ini dalam jangka waktu yang berabad-abad. Demikianlah, kepenjajahan mereka tampak secara jelas yang dapat dengan mudah kita melihatnya.


Namun, sekarang sungguh lain berbeda. Berbagai peperangan, banyak terjadi di negeri ini, yang mana musuhnya sungguh sulit untuk diterka, tidak terlihat bagai fatamorgana. Dengan berbagai kemajuan yang dicapai oleh manusia hari ini, khususnya kemajuan secara intelektual, maka mereka-mereka yang serakah akan kekuasaan, tidak lagi tampil sebagai penjajah yang terasa secara lahir. Mereka menjajah dan menindas negara-negara jajahannya, dalam bayangan yang sungguh sulit terlihat. Tentu saja, mata-mata yang lugu, tidak akan pernah mampu menganalisa dan mengetahui mereka. Perlu akal yang sehat dan pikiran yang jernih, untuk dapat melihat semua itu.


Tidak heran, bila Ir. Soekarno sebagai bapak bangsa ini pernah mengatakan bahwa, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”. Dengan ketajaman pandangannya, seolah sang kstaria yang telah membebaskan kita dari kepenjajahan itu, mampu melihat kesulitan yang akan kita hadapi. Ya,.. benar saja, dapat kita saksikan dan kita rasakan, bahwa hari ini kita berperang dengan bangsa sendiri, di negeri kita sendiri. Pengedar narkoba, kejahatan seksual, dan lain sebagainya, semua diaktori oleh bangsa kita sendiri. Kita tidak lagi berperang secara konvensional, namun kita berperang dengan situasi yang sulit, yang justru lebih rumit dari menghadapi penjajah yang perlu dihadapi dengan angkat senjata.
Mungkin inilah yang dimaksud dengan Proxy War, yang kini sedang tren dalam istilah peperangan di dunia dan negeri ini. Para ahli intelektual mengetahui bahwa, mulai dari Timor Timur yang akhirnya harus terlepas dari negeri ini, hingga GAM-nya (Gerakan Aceh Merdeka-yang sudah relatif selesai diatasi) Aceh dan OPM-nya (Organisasi Papua Merdeka-masih eksis hingga hari ini) Papua, semua terjadi bukan secara kebetulan, semuanya didalangi oleh aktor-aktor bayangan, yang memiliki keinginan dan kepentingan terhadap negeri ini.


Lihatlah Timor Timur, kita tahu bahwa di sana terdapat potensi kekayaan alam, maka negera serakah itu mulai datang secara halus, menintervensi hingga memprovokasi saudara-saudara kita kala itu, hingga akhirnya mereka harus terpisah dari kita, bahkan melalui peperangan yang cukup panjang dan korban yang tidak sedikit. Lihat pulalah peperangan di manca negara hari ini, khususnya di daerah Timur Tengah. Dengan berbagai isu, baik terorisme hingga ISIS (Islamic State of Iraq and Syria-Daulah/Negeara Islam Iraq dan Suriah), semua berkecamuk dalam perang. Apakah mereka berperang dengan sendirinya tanpa ada dalang di balik mereka ? Tidak, tidaklah demikian. Perhatikanlah para pengamat dunia, dengan intelektual dan kejernihan berfikir, mereka dapat dengan mudah menganalisa aktor dan dalang di balik semua itu. Secara mudah saja, kita tahu bahwa negera-negara di Timur Tengah itu kaya akan sumber daya alam minyak, tentu negara-negara serakah itu akan berfikir sekeras mungkin untuk dapat memilikinya. Hanya saja, dengan kepintarannya, mereka tidaklah datang secara paksa, dengan permainan politik, mereka menghembuskan isu-isu itu, memprovokasi benih-benih perpecahan, yang pada akhirnya mereka hadir seolah atas nama “Perdamaian”, yang sebenarnya ingin menguasai dan menduduki secara kewilayahan. Sungguh cantik permainan mereka. Semua ini bukanlah analisa kosong belaka, setidaknya lihatlah kenyataannya. Sekarang, di negera-negara yang telah hancur dengan berbagai isu-isu itu, siapakah pada akhirnya yang merauk keuntungan atas Sumber Daya Alam di negeri-negeri itu ? I know, yo know who (Saya tahu, anda tahu siapa dia).


Lalu bagaimana dengan Indonesia hari ini ? Tentu saja, Indonesiapun tak luput dari sasaran penjajahan secara halus itu. Kita tahu, Negeri kita ini, kaya akan Sumber Daya Alam (SDA), khususnya di Papua yang kaya akan emas, tembaga, minyak dan lain sebagainya. Hingga kini, masih kita dengar dan kita rasakan mengenai isu OPM, hingga ISIS yang mulai menjadi isu yang hangat dibicarakan. Apakah semua itu terjadi secara kebetulan ? Tentu saja tidak. Tentu ada aktor utama di balik semua itu, yang senantiasa membuat situasa di negeri kita ini dipenuhi dengan polemik oleh bangsa sendiri. Situasi ini, seolah menjadi bom yang siap mereka ledakan, seandainya kepentingan mereka dalam penjajahan halusnya terusik dan terganggu.


Dengan demikian, sudah selayaknya kita mampu berfikir secara jernih. Mari kita hadapi itu semua. Jangan lagi ada di antara kita ada yang menjadi tangan-tangan mereka, yang ingin menjadi penghancur negeri ini. Jangan lagi ada di antara kita, mejadi insan yang lugu, terbodohi dengan semua itu. Mari kita bentengi diri dari paham-paham radikal seperti ISIS, dan dari organisasi-organisasi pemecah belah bangsa. Mari kita bentengi diri, bahkan mari kita perangi organisasi-organisasi pengkhianat bangsa seperti KNPB (Komite Nasional Papua Barat), OPM dan lain sebagainya, yang dengan lugunya mereka menjadi tangan-tangan para penjajah yang serakah akan kekuasaan dan kekayaan alam dari negeri kita ini.

Rabu, 18 Maret 2015

Pesona Kota Nabire, Gerbang Nun Biru


Kota pantai  ini terhampar di seputar “Leher Burung” pulau Papua yang terbuka ke arah perairan teluk Cendrawasih. Sangat pas dengan predikat yang disandangnya yaitu sebagai ‘Gerbang Nun Biru’. Disebut ‘Gerbang’ karena Kota ini menjadi akses utama menuju beberapa kabupaten di wilayah pegunungan Papua, seperti Paniai, Dogiyai, Deiyai, Jayawijaya dan Puncak Jaya.


Dari Kota inilah Menteri PPA, Prof. Yohana Yembise berasal. Profesor perempuan pertama dari Papua ini memang dilahirkan di Manokwari namun ia menghabiskan masa remajanya sebagai pelajar SMP dan SMA di sekolah negeri yang dibangun Pemerintah Indonesia di kota ‘Gerbang Nun Biru’ ini.


Saat saya berkunjung ke Nabire di penghujung 2014 lalu, tak ada kesan bahwa kota ini termasuk dalam daerah 3 T (Tertinggal, Terluar, Terdepan), kendati ia termasuk dalam daftar 183 Daerah Tertinggal versi Bappenas. (Lihat: http://kawasan.bappenas.go.id/ ) Untuk mencapai kota ini kita harus menempuh perjalanan sekitar satu setengah jam dengan penerbangan lokal dari Jayapura atau melalui laut selama sehari semalam.


Konon, pada masa pemerintahan penjajah Belanda, banyak penduduk wilayah Papua hingga tahun 1930 belum mengetahui bahwa ada Pemerintah yang menguasai wilayahnya, karena memang nyaris tak tersentuh pembangunan di masa penjajahan Belanda. Belanda baru membangun Pos Pemerintahan di Nabire pada 1942, itupun dilakukan demi memudahkan jangkauan penguasaan atas daerah jajahannya. Nabire ditempatkan sebagai sebuah Onder Distrik, di bawah controllir Afdeling Central Nieuw Guinea yang berkedudukan di Hollandia (Jayapura). Belanda menempatkan seorang pejabat Distrik di kota ini bernama Somin Soumokil dengan jabatan sebagai H.B.A (Hooft Bestuur Assistent) http://nabirekab.go.id/sejarah/


Kendati kota ini baru diserahkan oleh Belanda kepada Pemerintah Indonesia pada 1962 melalui New York Agreement namun hampir tak ada bekas peninggalan Belanda di kota ini baik berupa bangunan maupun monumen lainnya. Pertanyaannya, selama puluhan tahun Belanda menjajah Papua, apa yang sudah ia wariskan ?


Sementara kehadiran Pemerintah Indonesia dalam 50-an tahun di kota ini (semenjak 1962) telah membuat kota berkembang cukup signifikan nyaris sejajar dengan perkembangan kota-kota kabupaten lainnya di wilayah Indonesia lainnya.


Apalagi di masa pemerintahan Jokowi saat ini yang memberikan perhatian luar biasa terhadap pembangunan wilayah Papua, seperti program prioritas pembangunan industri, tol laut, dan transportasi kereta api untuk memudahkan pengiriman logistik dari pelabuhan ke wilayah lain di Papua. Kemudahan pengiriman barang akan berkorelasi dengan turunnya harga dan meningkatnya daya beli masyarakat setempat. http://nasional.kompas.com/read/2014/12/08/1644527/Jokowi.Janji.Bangun.Rel.Kereta.Api.di.Papua.pada.2015



Namun sayangnya di kota Nabire ini masih terdapak sekelompok orang yang ikut-ikutan bergerilya di hutan bersama kelompok OPM yang sering mengganggu kelancaran pembangunan di wilayah ini. Menurut media lokal (majalah selangkah) pada akhir Desember lalu terdapat dua napi kasus makar (20 tahun) karena membobol gudang senjata milik TNI pada 2003 dan 10 orang tahanan aktivis KNPB yang menghuni kamar tahanan Polres Nabire. Mereka sedang berurusan dengan proses hukum akibat tindak pidana yang berkaitan dengan gerakan Papua merdeka.


Kelompok masyarakat seperti ini tentu saja harus mendapatkan pencerahan dan pembinaan untuk tidak melihat kehadiran Pemerintah Indonesia (termasuk Polisi dan Tentara) sebagai musuh yang harus diperangi, tetapi mitra pembangunan yang tujuannya harus satu, yaitu membawa masyarakat Papua (termasuk di dalamnya masyarakat Nabire) semakin sejahtera dan maju. [*](Veronika Nainggolan - Kompasiana)

Perempuan Indonesia, Ayo Bangkit Melawan Kekerasan dalam Rumah Tangga


Kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT) terjadi di semua daerah di Indonesia. Dari Aceh hingga Papua.

BEGITU yang disampaikan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Prof. Dr. Yohana Susana Yembise ketika menyampaikan sambutannya di sebuah acara peringatan Hari Perempuan Sedunia yang diadakan hari ini. Hari Perempuan Sedunia sendiri, tepatnya jatuh pada tanggal 8 Maret yang lalu.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Memberikan Sambutan. Dok. Pribadi

Ibu Yohana lalu mengambil contoh Papua, tanah kelahirannya, dalam kaitannya dengan KDRT ini. Sebab menurut ibu Yohana, Papua merupakan tempat selain DKI Jakarta, dimana KDRT yang terbanyak di Indonesia terjadi.

Di Papua, ada tiga akar masalah KDRT, kata ibu menteri, yakni, pertama: we live in the manpower society — ada budaya patriarki yang sangat kuat. Kedua, minuman keras. Dan terakhir, adanya banyak perdagangan perempuan dimana para perempuan ini lalu mengganggu ketentraman banyak rumah tangga di Papua.

Pernyataan Ibu Yohana ini diamini oleh ibu Regina Maubuay dari Koalisi Perempuan Papua Bangkit, khususnya terkait dengan adat istiadat yang kemudian membuat perempuan seakan kehilangan hak-nya dalam rumah tangga.

Salah satu contoh yang diambilnya adalah tentang mas kawin.

Mas kawin dalam adat Papua jumlahnya sangat mahal. Saat ini, dalam bentuk uang, bisa setara 50 sampai 100 juta rupiah.

Yang menjadi masalah utama, bukan semata angka yang sangat besar itu tapi dampaknya.

Karena mas kawin yang sangat mahal itu, maka dalam budaya yang ada, para suami kemudian menganggap mereka boleh memperlakukan istri dengan sekehendaknya. Jika istri tak setuju akan tindakan suami, mereka akan mengatakan bahwa tak ada lagi hak istri untuk bersuara untuk menentang sebab sang suami sudah ‘membeli’ istrinya dengan mas kawin yang sangat mahal itu.

Wow !

Karena itulah, kini beberapa orang tua bahkan sama sekali tak hendak menerima mas kawin ketika anak gadisnya dipinang seorang lelaki sebab khawatir bahwa sang anak akan lalu diperlakukan semena- mena oleh suaminya dalam pernikahan jika mereka menerima mas kawin itu.

***

Selain ibu Yohana Susana Yembise dan ibu Regina Maubuay, dalam acara Peringatan Hari Perempuan Sedunia tersebut hadir pula putri ibu Regina, Ellen Rachel Aragay yang merupakan Runner Up Puteri Indonesia tahun 2014.



Ibu Regina serta Ellen, bersama psikolog ibu Rose Mini kemudian tampil dalam suatu diskusi tentang KDRT yang dipandu oleh Shahnaz Haque.

Perbincangan ini menyentuh tentang apa yang dibutuhkan dalam suatu pernikahan agar KDRT bisa dihindari.

In any case, it takes two to tango.

Jika KDRT terjadi, tak bisa hanya salah satu pihak saja yang disalahkan. KDRT terjadi karena hukum aksi dan reaksi. Dimana suatu aksi yang tak disepakati oleh pihak lain menimbulkan reaksi yang keras.

Dalam hal ini, ibu Rose Mini menggaris bawahi bahwa dalam suatu pernikahan, kemampuan komunikasi dan adaptasi sangat diperlukan.

Bayangkan, suami istri akan hidup bersama dalam waktu yang panjang, bisa puluhan tahun. Sementara kedua belah pihak tentu saja akan mengalami perkembangan, dan perubahan. Disinilah kemampuan beradaptasi kedua belah pihak, baik suami maupun istri dibutuhkan demi kelanggengan rumah tangga.

Kemampuan komunikasi dan adaptasi ini memegang peranan penting dalam penyelesaian masalah tanpa kekerasan harus muncul di dalamnya.

Nah tapi, sebelum bicara tentang kemampuan komunikasi dan adaptasi suami istri dalam pernikahan, ada karakteristik tentang perempuan dan lelaki yang dibutuhkan untuk membentuk suatu rumah tangga bahagia. Suatu rumah tangga yang diharapkan terbebas dari kekerasan di dalamnya.

Apa itu?

Untuk perempuan, karakteristik inilah yang perlu dimiliki: percaya diri, bisa menghargai diri sendiri, dan memiliki sikap yang jelas bahwa dirinya tidak mau dilecehkan.

Jika perempuan menghargai dirinya sendiri, maka orang lain juga akan menghargainya.

Pendidikan yang baik, juga penting bagi perempuan. Pendidikan, tidak hanya merujuk pada pendidikan formal. Bisa dengan cara membaca buku, mengikuti seminar, mencari informasi dari internet, misalnya. Apapun caranya, yang bisa berujung pada terbukanya wawasan.

Ellen, sang putri dari Papua Barat menyetujui pendapat ibu Rose Mini itu. Katanya, adalah tergantung pada diri perempuan sendiri bagaimana dia akan memperlakukan dirinya dan bagaimana dia ingin diperlakukan oleh orang lain.

***

Nah lalu setelah bicara dari sisi perempuan, apa dong karakteristik lelaki sejati yang diharapkan bisa menjadi suami yang baik, yang kelak diharapkan juga tak menghadirkan kekerasan dalam rumah tangganya?

Ini:

Lelaki sejati, menurut ibu Rose Mini adalah lelaki yang bertanggung jawab, care, menunjukkan kasih sayang dan bisa mengayomi perempuan.

Dengan sangat jelas, ibu Rose Mini mengatakan bahwa lelaki yang suka menyakiti perempuan (secara fisik maupun psikis, dengan perbuatan maupun verbal) adalah laki- laki yang cemen !

Lelaki yang suka menyakiti perempuan, menunjukkan lelaki yang sebenarnya tak punya kepercayaan pada dirinya sendiri. Sebab tak percaya diri inilah, dia lalu menyakiti perempuan.

Omong- omong, adakah cara (sebelum pernikahan) untuk bisa melihat apakah seorang lelaki memiliki potensi untuk melakukan kekerasan dalam rumah tangga kelak?

Ada. Perhatikan sikap dan tindak tanduknya, sifat dasarnya.

Apa yang terlihat, itulah yang akan didapatkan nanti.

Perhatikan apakah misalnya, jika dia sedang menyetir, sekedar disalip oleh kendaraan lain bisa menyebabkannya mengamuk dan melemparkan sesuatu.

Setelah itu, lihat pula cara bicaranya. Kesantuannya.

Perhatikan juga apakah dia care, dan bisa mengayomi perempuan.

***

Diskusi tentang KDRT dan pernikahan bahagia ini juga diselingi dengan perkacapan tentang bagaimana perempuan juga perlu memiliki kegiatan dimana dia bisa mengekspresikan eksistensi dirinya.

Perempuan butuh ruang untuk itu.

Perbincangan tentang KDRT dalam acara ini sama sekali bukan bertujuan untuk menyalahkan pihak manapun. Walau fokusnya pada perempuan, baik posisinya di dalam rumah tangga maupun perannya di luar rumah, tak berarti bahwa dalam hal ini lelaki bisa dinihilkan peran dan keberadaannya. Pendapat dan keinginan lelaki, tentu harus pula diperhitungkan.



Seperti telah disebutkan di atas, kedua belah pihak, baik suami maupun istri, sama- sama memiliki peran jika KDRT terjadi. Sebaliknya, jika kedua belah pihak baik suami maupun istri bisa bekerja sama dengan baik, maka masing- masing akan bisa menjadi sangat berperan dalam kesuksesan pasangannya.

Dibalik seorang istri yang sukses, ada suami luar biasa yang mendukungnya. Demikian pula, dibalik seorang suami yang sukses, ada istri yang luar biasa dan memberikan dukungannya bagi suami tercinta.

Bagaimanapun, perempuan dan laki- laki memang diciptakan untuk saling melengkapi, saling menyayangi dan pada akhirnya, bersama- sama bergandeng tangan untuk membawa kebaikan bagi semua.

Indonesia Bergetar Akibat Oplosan Papua


Roni Lau, pria kelahiran Nabire, Papua 22 Juni 1986 pada awalnya iseng-iseng menyanyikan lagu berbahasa Jawa (campursari) dengan judul “Jago Selingkuh”. Lagu itu kemudian dia buat video dan diupload ke Youtube. Tak disangka dan tak diduga, video itu telah disaksikan belasan ribu penonton. Tak ayal lagi, Roni Lau jadi kebanjiran job manggung di beberapa acara stasiun televisi nasional :

Comedy Academy - Indosiar

Inbox - SCTV

Bukan Empat Mata - Trans 7


Menurut Roni sebagaimana diungkapkan kepada harian Pikiran Rakyat, ketertarikannya terhadap lagu campursari ketika mendengar lagu-lagu yang dibawakan Didi Kempot. Waktu itu Roni masih kuliah di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta dan banyak bergaul dengan orang-orang Jawa. Jika orang Jawa jago bahasa Papua dan orang Papua jago berbahasa Jawa, mungkin orang asing akan terkecoh melihatnya.

Nasehat para leluhur yang berbunyi, “Dimana Bumi Dipijak, Disitu Langit Dijunjung”, sepertinya telah merasuk ke dalam hati sanubari Roni Lau. Harapan seluruh fans, semoga ke depan Roni Lau bisa membawakan lagu-lagu campursari bahasa Papua.

Penjajahan Babak Baru di Papua


Penjajahan, penindasan dan kesewenangan sudah berakhir. Provinsi Papua sudah terbebas dari belenggu penjajahan Belanda. Masyarakat Papua memiliki hak yang sama dengan masyarakat lainnya yang berada dalam bingkai NKRI. Masa perjuangan Pahlawan Papua dan Pahlawan nasional lainnya sudah membuahkan hasil. Kerja keras, ketekunan, pantang menyerah demi sebuah kata Merdeka dari penjajahan Belanda. Darah yang bercucuran, keringat, air mata berjatuhan tidak mengurangi semangat dan pengorbanan saat itu, kebutuhan pribadi terabaikan demi kepentingan bangsa dan Negara. Akhirnya melalui berperang, diplomasi dan perjanjian-perjanjian rakyat Papua bisa menghirup napas lega dari sebuah tirani penjajahan Belanda. Kemerdekaan Papua dari penjajahan  belanda Sudah Final. Papua merupakan bagian dari NKRI, duniapun mengakui itu.


Kilas  Sejarah

Dalam perundingan Konferensi Meja Bundar di Den Haag, tahun 1949 tercapai kesepakatan tentang penyerahan kedaulatan secara resmi kepada Indonesia dan khusus penyerahan Irian akan ‘ ditunda ‘ selama setahun. Sewaktu Indonesia menuntut penyerahan ini, Belanda melakukan tafsir ‘ ditunda ‘ yang diartikan sebagai dirundingkan kembali. Sejak itu hubungan Belanda dan Indonesia memanas.

Belanda memang tidak ingin wilayah ini jatuh ke tangan Indonesia, sejak tahun 1946, Belanda berusaha menjadikan berbagai wilayah di Indonesia sebagai negara federal yang bernaung dibawah Uni Belanda. Lebih dari itu, Belanda berkeinginan membuat Irian Barat sebagai penampungan bagi peranakan Indo yang bermukim di Indonesia atau warga negara Belanda yang di Eropa. Namun rencana ini tidak berjalan lancar.

Perjanjian itu menyebutkan Belanda harus angkat kaki paling lambat Mei 1963. Setelah serah terima dari UNTEA Perserikatan Bangsa Bangsa ke Indonesia pada Mei 1963. Presiden Sukarno berpidato pada bulan Mei 1963 dalam rapat raksasa di Merauke, Irian Barat yang dihadiri Gubernur Aceh, Hasjimi dan Gubernur pertama Irian Barat, E.J Bonay.

Irian Barat tak otomatis menjadi bagian dari Indonesia. Kesepakatan New York mengamanatkan agar Pemerintah Indonesia menyelenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Irian Barat, paling lambat akhir 1969 dengan pilihan bergabung dengan Indonesia atau merdeka.

Dalam perjalanannya Masyarakat Papua menunjukkan bukti kepada dunia bahwa mereka memiliki hak menentukan nasib sendiri. Dan penentuan nasib sendiri itu dilakukan di bawah pengawasan PBB melalui PEPERA tahun 1969.

Dalam Pepera itu tidak mungkin dilakukan one man one vote, sehingga diwakilkan kepada tokoh masyarakat atau kepala suku. Hal itu karena faktor transportasi dan masih banyak wilayah Irian yang terpencil. Kenyataan ini dipahami oleh PBB dalam sidang tanggal 19 Desember 1969, mengukuhkan hasil Pepera menjadi Resolusi no 2504, dengan 84 negara setuju, 30 negara abstain dan tidak ada satu negarapun yang menentang. Jadi secara hukum Internasional, Irian Barat sah menjadi bagian dari Republik Indonesia,

Masyarakat papua memiliki kesetaraan dengan masyarakat diwilayah lainnya, bahkan pemerintah sangat memperhatikan ketertinggalan  Papua dengan segera melakukan pembenahan disegala sektor. Papua mendapatkankan perhatian khusus dari pemerintah pusat seperti adanya otonomi khusus, jaminan kesehatan dan sarana pendidikan. Kesetaraan, toleransi dan saling menghargai merupakan wujud nyata dalam perilaku masyarakat sehari-hari di Papua, namun situasi yang damai ini terkadang di ganggu oleh sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab, demi kepentingan pribadi, jabatan dan memperkaya diri dan kelompoknya. Pertanyaannya sekarang, siapakah yang menjajah Papua saat ini???……


PAPUA DALAM BELENGGU & TEROR PENJAJAHAN KAUMNYA SENDIRI


Saat ini Papua dijajah oleh kaumnya sendiri yaitu Korupsi, separatis (OPM) dan Organisasi terlarang lainnya (Ilegal).

1.         KORUPSI

Direktur Lembaga Papua Anti Corruption Investigation, Anthon Raharusun mengatakan, kasus korupsi menjadi isu penting di Papua seiring berlakunya Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) di Papua. UU itu menjadi payung hukum bagi Pemerintah Pusat mengucurkan dana triliunan rupiah untuk Propinsi Papua guna percepatan pembangunan.

Pada 2014, misalnya, Pemerintah Pusat mengucurkan dana Otsus senilai Rp 4,7 triliun, meningkat Rp 400 miliar dibandingkan dana Otsus 2013 senilai Rp 4,3 triliun. Adapun dana Otsus 2014 untuk Papua Barat, tercatat mencapai Rp 2 triliun, meningkat Rp 200 miliar dari dana Otonomi Khusus pada 2013.

Meski Papua dan Papua Barat mendapatkan kucuran dana dalam jumlah besar lewat mekanisme Otsus, tak terlihat ada pembangunan pesat di kedua wilayah. Karenanya, dugaan korupsi oleh pejabat di kedua provinsi pun mencuat ke permukaan.

JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad mengatakan, ada fenomena aneh yang terjadi di Papua jika ada kasus dugaan korupsi yang dilakukan pejabat setempat. Apa keanehan itu?
“Ada fenomena aneh di Papua. Kalau seorang pejabat digoyang kasus korupsi, dia akan memprovokasi masyarakat untuk berdemonstrasi,” kata Abraham saat mengisi pembekalan calon anggota legislatif dari PDI-P, di Senayan, Jakarta Selatan, Rabu (3/7/2013).

Menurut Abraham, ia telah menerima laporan dari Kepala Polda Papua terkait penanganan korupsi di sana. Kapolda Papua memintanya berkunjung ke kantor-kantor pemerintahan di Provinsi Papua pada hari Kamis. Sebab, pada hari-hari menjelang akhir pekan, seluruh kantor pemerintahan diduga kosong karena para pejabatnya terbang ke Jakarta untuk urusan pribadi. Informasi yang diberikan kepada Abraham diperkuat dengan sejumlah bukti fisik. Salah satunya bukti pembayaran dari beberapa pejabat daerah di Papua saat menginap di hotel berbintang di Jakarta.

“Saya tanya kenapa Kamis? Katanya Kamis semua kantor bupati kosong, semua pada ke Jakarta untuk berfoya-foya. Ada bukti pembayaran di Hotel Shangrila di President Suite,”

Akhirnya rakyat Papua mendapatkan jawaban atas alibi pemerintah daerah yang menganggap Otsus gagal selama ini. Satu jawaban yang pasti saat ini adalah Dana otsus yang besar seharusnya dapat mensejahterakan rakyat melainkan dikorupsi besar-besaran tanpa sisa oleh pemerintah daerah Papua. Apabila elite Papua selalu meneriakkan “Otsus Gagal” maka tidak beda seperti melempar kotoran di muka sendiri. Elite papua seolah-olah tidak puas dengan dana otsus yang selama ini di korupsi, ada upaya memberikan statement otsus gagal dan meminta adanya perkembangan menjadi otsus Plus. Ketamakan, kerakusan dan haus jabatan mencuat dari draff yang mereka buat sepihak. Bila Otsus dinilai gagal maka seharusnya pemerintah daerah Papua melaksanakan evaluasi yang mendalam. Otsus gagal sumbernya adalah Perilaku korupsi para pejabat Papua dan tidak profesionalnya birokrat dan PNS di Papua


2.         SEPARATIS (OPM) DAN ORGANISASI TERLARANG (ILEGAL)


- TPN OPM sumber kekerasan di Papua, kelompok Organisasi Papua Merdeka terlibat dalam rangkaian peristiwa penembakan misterius dan kekerasan di Papua yang terjadi beberapa pekan terakhir. Pada awal tahun 2015 saja sudah terjadi deretan penembakan, perampasan dan premanisme seperti pemalangan dan penyanderaan yang dilakukan oleh kelompok OPM terhadap mayasrakat, aparat TNI/POLRI dan aparatur pemerintahan daerah. Pada bulan januari saja sudah tercatat berkali-kali kegiatan anarkis yang dilakukan oleh kelompok TPN OPM seperti penembakan terhadap 2 Anggota Brimob di timika dan satu security Freeport, pembakaran alat berat, Penembakan anggota Polres Lanny Jaya dan penembakan terhadap pekerja jalan di Lanny Jaya dengan tujuan melarang adanya pembangunan jalan (Cendrawasih pos, 2 feb 2015).

Aksi lainnya dengan melakukan teror terhadap pemerintah daerah dan masyarakat yang ada didaerah pegunungan, banyak sudah korban berjatuhan. Aksi empuk TPN OPM dilakukan dengan mengganggu lajuran mobil yang membawa kebutuhan pokok ke puncak jaya, dengan cara merampas dan tidak segan melakukan kekerasan, belakangan aparatur daerah disekap dan TPN OPM meminta tebusan uang sebagai pengganti keselamatan nyawanya. Aksi semacam ini seringkali terjadi Komnasham sepertinya diam ketika pelakunya TPN OPM.

- KNPB, UMLWP dan PNPB merupakan organisasi terlarang, Ilegal dan sumber konflik di tanah Papua, Rangkaian kejahatan sepertinya sudah direncanakan untuk memberikan teror dan ketidak nyamanan terhadap Masyarakat Papua. Ketenangan dan kedamaian semakin tergerus oleh ulah sekelompok orang yang haus akan kekuasaan, jabatan dan memperkaya diri. Tampak jelas antara kelompok Organisasi Ilegal dan OPM memiliki keterkaitan dan dapat merongrong kedaulatan, kedamaian dan memunculkan konflik di tanah Papua. Provokasi, hasutan, Fitnah, adu domba dan tindakan kriminal lainnya  tidak henti- hentinya mereka lakukan dan sudah menjadi bagian kegiatan dalam memuluskan akal busuk dan kepentingan mereka. Banyak organisasi di Papua yang tidak terdaftar di kesbangpol dan memiliki indikasi ter Afiliasi dengan kelompok TPN OPM. Seperti KNPB, UMLWP dan PNPB. Mereka mengatakan ini bagian dari penyatuan pergerakan politik dan separatis. Keterkaitan mereka tampak jelas dengan beberapa bukti yang tampak seperti tertangkapnya jaringan beli amunisi yang dilakukan oleh anggota KNPB di jayapura. (Bintang Papua, januari 2015)dan adanya kegiatan yang mereka lakukan bersama seperti yang baru ini dilakukan di rusunawa uncen waena kota jayapura yang mengatas namakan 3 kelompok besar yaitu KNPB, UMLWP dan PNPB, kegiatan serupa juga dilakukan di Manokwari dan Nabire.

Kelompok ini mengumpulkan masyarakat yang sedang berjualan dengan paksa, melakukan pemalangan kampus sehingga merampas hak belajar bagi mahasiswa dan hak untuk mencari nafkah bagi masyarakat. Selain itu mereka melakukan orasi provokatif, fitnah, adu domba yang berdampak pada kebencian dan permusuhan antar masyarakat dengan masyarakat maupun masyarakat dengan pemerintah. Selayaknya masyarakat Papua bisa membentengi diri dari aksi fitnah dan provokatif ini. Mereka hanya haus akan jabatan, ingin berfoya-foya dan menjadikan diri sebagai penguasa dengan menjual nama rakyat yang sebenarnya hanya demi kepentingan pribadi. Mereka dapat uang banyak dari negara asing dan hanya jalan-jalan keluar negeri untuk berfoya-foya.

Kemerdekaan Papua Sudah Final dari belenggu penjajahan Belanda.  Saatnya kita mengisi kemerdekaan dengan suka cita dengan memberikan kontribusi terhadap perkembangan pembangunan daerah dan kemajuan bangsa. Meningkatkan kemampuan diri dan mengembangkan segala potensi alam yang ada. Pembekalan kompetensi SDM dan keterampilan personal pada saat ini sangat dibutuhkan Papua.

Mari selamat kan papua dari pengaruh buruk gerakan separatis dan organisasi terlarang tersebut. Jangan sampai anak cucu kita menjadi liar, terjerumus dan buram masa depannya, masa depan ada pada generasi muda yang berbudi luhur, menghormati perbedaan dan bermoral.  Biarkan matahari tetap bersinar dipapua, masyarakat hidup berdampingan dengan damai dan tentram. Kita hanya sebagai ciptaan tuhan yang selalu ingin damai dan semoga menjadi memory yang indah pada penerus bangsa ini kelak. (red-kompasiana-Alexwarobay)

Asrida Elisabeth, Mendokumentasikan Papua dengan Mata Hati


”Saat turun dari pesawat, kami melihat seorang anak perempuan dengan perut buncit dibopong ke bandara di atas bukit. Mereka menunggu pesawat yang akan mengangkut ke rumah sakit di kota. Permukiman penduduk itu sangat jauh dari pusat pelayanan,” ujar Asrida.

Papuacenter – DIMULAI dari jalan-jalan sampai jatuh cinta dengan tanah Papua. Itulah yang dialami Asrida Elisabeth yang pertama kali menginjakkan Bumi Cenderawasih untuk menjadi pekerja sosial. Setelah empat tahun berada di tengah masyarakat Papua, Asrida merasa masih banyak yang harus dilakukannya.

Saat pertama kali menginjakkan kaki di Papua, Asrida tak pernah membayangkan akan tinggal lama di pulau burung cenderawasih ini. Setelah lulus dari Jurusan Statistik, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Udayana, Bali, tahun 2011, perempuan kelahiran Kampung Nanga, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, ini pergi ke Keerom, Papua. Dengan diantar sang kakak, dia berniat membantu Yohanes Djonga Pr, aktivis hak asasi manusia yang akrab disapa Pater John.

”Selama kuliah, saya sama sekali enggak tahu Papua. Untuk itulah saya pilih ikut Pater John yang sudah lama berada di Papua,” kata Asrida.

Saat itu, pihak keluarga mempertanyakan langkah Asrida yang lebih memilih kerja sosial daripada melamar menjadi calon pegawai negeri sipil. Meski begitu, dia tetap memilih untuk berkeliling Papua membantu Pater John mendokumentasikan kehidupan dan semua masalah yang dihadapi masyarakat Papua.

”Ke mana saja Pater John pergi, saya ikut. Karena sering jalan dengan Pater, sudut pandang saya jadi seperti Pater, melihat masyarakat Papua sebagai korban. Tugas saya dokumentasi, mencatat, mengantar tamu, kebanyakan wartawan,” ujar Asrida.

Selama menjadi pekerja sosial, Asrida telah melihat beragam masalah yang melilit masyarakat Papua, mulai dari kepemilikan tanah, pendidikan, kesehatan, sampai konflik antara masyarakat dan militer. Seiring berjalannya waktu, anak seorang guru di Flores, NTT, ini memilih menekuni permasalahan perempuan.


Salah satu pengalaman yang paling berkesan ketika mengunjungi Distrik Samenage, Kabupaten Yahukimo, Papua, tahun 2013. Dengan pesawat kecil, dia bersama Pater John dan lima orang lainnya merayakan Paskah sekaligus menggali informasi dari masyarakat daerah otonom baru yang diresmikan akhir tahun 2003.

”Saat turun dari pesawat, kami melihat seorang anak perempuan dengan perut buncit dibopong ke bandara di atas bukit. Mereka menunggu pesawat yang akan mengangkut ke rumah sakit di kota. Permukiman penduduk itu sangat jauh dari pusat pelayanan,” ujar Asrida.

Rombongan juga berkunjung ke sekolah yang salah satu temboknya terpasang gambar mantan Wakil Presiden Try Sutrisno. Hanya satu guru yang lulusan SMA yang mengajar untuk semua kelas. Sementara di bangunan puskesmas, rumput-rumput semakin tinggi, tak terlihat satu orang pun. ”Sedihnya, masyarakat menerima saja yang mereka alami. Mereka menyerah dan semua pelayanan pendidikan dan kesehatan yang tak memadai itu menjadi hal biasa,” katanya.


Membuat film

Tahun 2013, Asrida memilih tinggal di Kabupaten Wamena, Papua. Semakin lama berada di tengah masyarakat, kepekaan Asrida terhadap kehidupan perempuan Papua semakin terasah. Apalagi, setiap kali berkeliling dengan Pater John, dia selalu mendokumentasikan semua kegiatan masyarakat Papua sehingga dirinya pun merasa dekat sekali dengan Papua.

Hobinya dalam mendokumentasikan gambar dan video membuat Asrida bergabung dengan komunitas Papuan Voices yang membuat banyak sekali film pendek mengenai kehidupan masyarakat Papua. Beberapa kali dia terlibat dalam pembuatan film dokumenter.

Suatu saat, Asrida mengamati suasana Pasar Jimbana, Wamena. Tak sadar, pandangannya jatuh pada seorang mama yang datang dari Kampung Huguma, Distrik Kurima, Kabupaten Yahukimo. Mama Halusina memang tinggal di Yahukimo, tetapi perjalanan ke Wamena untuk menjual hasil pertaniannya lebih mudah jika berjalan ke Wamena. Rasa penasaran yang besar membuat Asrida mengikuti Halusina sampai ke rumahnya. Tak hanya sekali, kesempatan itu dilakukan beberapa kali.

Beberapa waktu kemudian, Asrida melihat lowongan Project Change 2013 yang diselenggarakan Kalyana Shira Foundation. ”Saya iseng saja mengirimkan cerita Mama Halusina ke Project Change. Sama sekali enggak menyangka, akhirnya ide cerita saya diterima Kalyana Shira,” katanya.

Project Change merupakan pelatihan untuk pembuat film muda yang mengangkat isu kesetaraan jender, baik fiksi maupun dokumenter. Kegiatan ini diprakarsai sutradara Nia Dinata.

Awalnya, Asrida ingin mengangkat cerita mengenai perjalanan Halusina yang berjalan puluhan kilometer untuk menjual sayuran hasil pertaniannya, seperti daun ubi. Selama lima jam berjalan kaki, menyusuri lembah dan menyeberang kali, kemudian disambung dengan angkutan umum.


Namun, di tengah perjalanan persiapan film dokumenter Tanah Mama, cerita berubah. Saat pulang dari Jakarta untuk mengikuti pelatihan, Asrida tak menemukan Halusina di kampungnya. Ternyata, dia sedang terlilit masalah mencuri ubi di lahan milik adik iparnya. Sesuai hukum adat, Halusina harus membayar denda Rp 1 juta atau satu ekor babi. Sementara Hosea, sang suami Halusina yang mempunyai dua istri, tak peduli dengan nasib Halusina sebagai istri pertama. Akhirnya, dengan kondisi pas-pasan, Halusina pindah ke rumah adiknya di Kampung Anjelma, Yahukimo.

Dalam film yang ditayangkan di Cinema XXI bulan Januari lalu digambarkan kehidupan sehari-hari Halusina bersama empat anaknya. Mereka tinggal di sebuah rumah beralas tanah yang dilapisi kain terpal. Di salah satu sisi rumah, mereka hidup bersama binatang peliharaan, babi.

Asrida menceritakan, untuk membuat film dokumenter itu, diawali dengan riset selama tiga bulan. ”Setelah keadaan Mama Halusina berubah, saya konsultasi dengan mentor Ucu Agustin. Saya langsung diminta segera produksi filmnya,” kata Asrida.

Untuk pengambilan gambar, Asrida sebagai sutradara dibantu kamerawan Vera Lestafa dan Produser Lini Kiki Febriyanti. Selama sepuluh hari, Asrida berusaha membuat Halusina nyaman ketika diikuti kamera ke mana pun. Dari sembilan kru film yang terlibat, hanya tiga orang yang mengikuti Halusina.

Salah satu kendala yang dihadapi adalah bahasa Wamena yang digunakan masyarakat. ”Saya dibantu banyak orang untuk menerjemahkan bahasa Wamena. Untuk menerjemahkan dibutuhkan waktu satu bulan dan editing film satu bulan,” ujar Asrida menceritakan film berdurasi 65 menit ini.

Setelah film ini ditonton banyak orang, terutama masyarakat di luar Papua, Asrida menggantungkan banyak harapan. Solidaritas untuk masyarakat Papua, kehadiran pemerintah untuk memenuhi hak-hak dasar masyarakat, dan harapan generasi penerus Papua bisa hidup lebih baik. Semoga saja harapan demi harapan bisa terwujud di Bumi Cenderawasih.  [travel.kompas.com]

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Blogger Themes | LunarPages Coupon Code