Kamis, 12 Maret 2015

Pokja Papua UGM Gelar Diskusi Film ”Tanah Mama”


YOGYAKARTA Papua Center: Pokja Papua UGM menggelar pemutaran dan diskusi film ”Tanah Mama”, acara tersebut diselenggarakan di Hall Fisipol UGM.

Diskusi film dihadiri oleh Nia Dinata selaku produser film, Kepala Pokja Papua UGM Bambang Purwoko, peneliti Pokja Papua UGM Arie Ruhyanto, dan dosen Fisipol UGM Desintha Asriani.
Bambang Purwoko mengatakan, pemutaran dan diskusi film dokumentasi ”Tanah Mama” itu untuk mengungkapkan realitas kehidupan para perempuan Papua yang belum sepenuhnya diketahui banyak oleh publik.

Menurutnya, persoalan dan tantangan yang dihadapi oleh perempuan Papua bukan hanya sebatas bagaimana melahirkan bayi mereka tanpa pelayanan kesehatan yang memadai, tetapi juga bagaimana membesarkan anak-anak dengan segala keterbatasan dan sekaligus berperan menjadi roda penggerak perekonomian keluarga.

”Ketertinggalan pembangunan, nilai-nilai kultural dan keterbatasan akses kesehatan dan pendidikan ternyata sangat mempengaruhi para perempuan Papua,” katanya.

Dalam kesempatan itu, dia menyampaikan kegiatan pemberdayaan masyarakat Papua telah dilakukan Pokja UGM diharapkan mampu meningkatkan sebagian kualitas hidup para perempuan Papua.
Menurutnya, kalangan akademisi UGM akan terus ikut memberikan advokasi pemberdayaan perempuan Papua sehingga memberikan efek positif terhadap pembangunan SDM Papua.
”Sementara ini yang kita lakukan lewat pelaksanaan KKN PPM UGM dan advokasi kebijakan pemerintah daerah dan provinsi di Papua,” ujarnya.

Nia Dinata selaku produser film tersebut mengungkapkan, film garapannya tersebut merupakan film dokumenter dengan format drama naratif yang berupaya merekam kehidupan Mama Halosina, seorang ibu di Papua yang hidup di perkampungan ladang di lembah pedalaman Yahukimo, sekitar lima jam jalan kaki dari pinggiran kota Wamena.

”Perempuan yang dipanggil mama itu harus berjuang menghidupi diri dan empat anaknya setelah suaminya kawin lagi,” katanya.

Dalam film tersebut, Halosina terpaksa mencuri ubi di kebun adik iparnya untuk memberi makan anak-anaknya karena suaminya tidak membukakan lahan baginya untuk bercocok tanam.

Halosina pun mendapat sanksi denda diharuskan mengganti kerugian sejumlah Rp 500.000 akibat tindakannya tersebut oleh ketua adat setempat. Tak punya uang sepeser pun, Halosina akhirnya kabur dari desanya, dan bersembunyi di rumah saudaranya di kampung sebelah.

Namun, ancaman denda terus mengejarnya, walau ia dengan gigih berupaya menempuh jalan damai dengan membujuk dan meminta maaf sang adik ipar.

Menurutnya, film dokumentasi itu diharapkan mampu menjadi tontonan alternatif yang lebih nyata mengenai gambaran masyarakat Papua terutama sosok perempuan Papua meski belum mampu merepresentasikan kehidupan masyarakat Papua secara utuh.

”Kiranya film ini dapat menjadi media untuk dapat saling memahami di antara masyarakat Indonesia mengenai kehidupan di pedalaman Papua,” tambahnya. [suaramerdeka.com]

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Blogger Themes | LunarPages Coupon Code