Kamis, 26 Februari 2015

Otsus Plus Papua vs Otsus Plus Elite Papua



Pembahasan mengenai gagal masuknya RUU Otsus Plus dalam Prolegnas 2015 masih menjadi topik pembicaraan hangat di Papua. Salah pemahaman bahwa pemerintah pusat menolak RUU Otsus Plus masih beredar, terkait kesalahpahaman ini, Inisiator Ikatan Cendikiawan Muda Papua, Marthinus Werimon mengatakan bahwa, RUU Otsus Plus bukan ditolak oleh pemerintah pusat, tetapi pembahasannya hanya ditunda hingga 2016.
Terkait gagal masuknya RUU Otsus Plus Papua dalam Prolegnas 2015 ini, banyak elite-elite politik Papua yang begitu meradang dan kecewa. Gubernur Papua, Lukas Enembe bahkan mengancam tidak akan kembali ke Jakarta untuk membahas RUU Otsus Plus Papua lagi. Sedangkan, Ketua MRP (Majelis Rakat Papua) Timotus Murib mengancam bahwa karena RUU Otsus Plus tidak dikabulkan maka jajaran pemerintahan di Papua akan melaksanakan mogok. Selain itu, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Papua, Ruben Magay mengatakan bahwa Papua akan minta referendum bila RUU Otsus Plus Papua ini tidak diterima oleh pemerintah pusat.
Reaksi yang berlebihan, bila dilihat dari fakta bahwa sebenarnya RUU Otsus Papua tidak ditolak, hanya diundur pembahasannya. Bahkan Menteri Hukum dan HAM, Yasona Laoly sudah memberikan penjelasan kenapa RUU Otsus Papua ini tidak dimasukan dalam Prolegnas 2015. Pertama pemerintah Jokowi ingin memprioritaskan kebijakan affirmative action untuk Papua terlebih dahulu tanpa disibukan dengan peraturan perundang-undangan yang baru. Kebijakan affirmative action yang dimaksud misalnya adalah dengan memperbayak infrastruktur dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua. Kedua, pengajuan RUU Otsus Plus ini yang terburu-buru dan masuk pada saat injury time. Yasona Laoly mengatakan bahwa ia harus berkonsultasi dengan kementerian lain terkait RUU Otsus Plus Papua ini.
Tetapi, dari berbagai reaksi para elite Papua yang nampak begitu berlebihan itu, terlihat kesalahan-kesalahan mereka terkait pemahaman tentang Otsus Papua, beberapanya adalah sebagai berikut :
Membandingkan Papua dengan Aceh
Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe menyatakan “kenapa Aceh harus diperlakukan khusus oleh Pemerintah Pusat dibanding Papua. Memang di sana ada apa? Ini tidak adil jadi kami tetap akan pakai Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang ada” (sumber). Pernyataan yang terkesan “ngambek” itu terkait dengan keinginan Lukas bahwa lolosnya RUU Otsus Plus nanti, wewenang pemerintah Papua akan sebesar wewenang pemerintah Aceh yang diatur dalam UU Pemerintah Aceh. Pernyataan “ngambek” tersebut patut disayangkan, apalagi keluar dari mulut seorang Lukas Enembe.
Kondisi Papua dan Aceh jauh berbeda. Ini bukan siapa yang lebih kaya Sumber daya Alamya (SDA) atau siapa yang lebih mampu Sumber Daya Manusianya (SDM). Kondisi politik keduanya berbeda. Aceh dan Papua memiliki gerakan separatis, di Aceh dulu ada Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan di Papua ada Organisasi Papua Merdeka (OPM). Para anggota GAM saat ini sudah meletakan senjatanya dan aktivis GAM di luar negeri sudah kembali ke Aceh untuk membangun Aceh dalam lingkup Indonesia. Sedangkan anggota OPM, sampai saat ini belum meletakan senjatanya dan kerap menyerang aparat keamanan, bahkan akhir-akhir ini juga menyerang penduduk sipil (sumber).
Dengan perbedaan ini, adalah satu kesalahan bila Lukas Enembe membandingkan Papua dengan Aceh. ada belasan kelompok faksi militer OPM/Kelompok Kriminila Bersenjata (KKB) meletakan senjatanya dan aktivis faksi politik OPM di luar negeri kembali ke Papua dan membangun Papua dalam lingkup Indonesia, Papua dan Aceh tidak bisa disamakan. Dan oleh karena itu, bentuk aturannya pun juga tidak boleh disamakan.
Ancaman “Merdeka” dan “Referendum”
Ketua MRP (Majelis Rakat Papua) Timotus Murib mengatakan “Ketika draf RUU Otsus Plus itu tidak diterima dan tidak disahkan oleh Pemerintah Pusat sebagai undang-undang maka dibuka ruang referendum atau dialog Papua-Jakarta”(sumber). Sebenarnya, bukan kali ini saja elite Papua mengancam pemerintah pusat dengan kata-kata “Referendum” atau “merdeka”. Hal ini seakan membenarkan anggapan bahwa saat ini OPM (Organisasi Papua Merdeka) banyak disusupi kepentingan-kepentingan, sehingga OPM bukanlah kelompok ideologis.
Sebenarnya, fakta bahwa OPM bukan merupakan organisasi ideologis dapat dilihat dalam kasus Eden Wanimbo, seorang pemimpin kelompok OPM faksi militer yang paling aktif saat ini. Menurut Arek Wanimbo, Kepala suku besar Lanny Jaya, Enden Wanimbo adalah mantan kepala sebuah sekolah menengah di Tiom, Lanny Jaya. Enden dulu ikut memperjuangkan agar Lanny Jaya berpisah dari Kabupaten Jayawijaya. Harapannya, dia bisa jadi kepala dinas pendidikan. Usaha tersebut berhasil pada 2008 ketika Dewan Perwakilan Rakyat setuju pembentukan Lanny Jaya. Namun Enden kecewa karena dia tak dijadikan kepala dinas. Enden masuk hutan dan gabung dengan Puron Wenda. (sumber)
Semestinya kata-kata “merdeka” atau “referendum” tidak digunakan hanya untuk menekan atau mengancam pemerintah pusat untuk mengikuti apa yang dimaui oleh elite Papua. Nafas dari Otsus Papua adalah usaha untuk memajukan potensi Papua untuk rakyat Papua oleh rakyat Papua dengan melindungi hak ulayat dari orang Papua, sehingga Papua bisa menyusul ketertinggalan dibanding rakyat Indonesia lainnya. Sehingga, usaha meloloskan RUU Otsus Plus Papua dengan ancaman kata “merdeka” atau “referendum” tidak sejalan dengan nafas Otsus Papua itu sendiri.
Apa yang harus dilakukan?
Menurut saya, dalam pengajuan RUU Otsus Plus Papua, pemerintah Papua harus melihat 15 tahun yang lalu, ketika UU Otsus Papua pertama kali disahkan oleh presiden wanita pertama Indonesia, Megawati Soekarnoputri. Ketika itu, seluruh rakyat Papua dari berbagai elemen masyarkatanya setuju dan satu kata dalam pengajuan Otsus Papua. Saat ini, yang mengajukan hanyalah elite-elite Papua saja, saya pikir wajar ketika pemerintah Jokowi tidak memasukan RUU Otsus Plus dalam Prolegnas 2015 dan menawarkan dialog terkait Otsus Plus ini kepada berbagai elemen masyarakat di Papua (sumber).
Pemerintah Jokowi saya rasa tidak ingin kalau RUU Otsus Plus yang diajukan hanya memuat keinginan elite Papua saja, bukan rakyat Papua secara keseluruhan. Apalagi bila ditambah komentar-komentar provokatif yang berlebihan dari para elite Papua ini ketika RUU Otsus Plus ini ditunda. Saya garis bawahi, ditunda, bukan ditolak. Tetapi, komentar provokatif elite Papua itu tidak dibarengi oleh pergerakan yang signifikan dari elemen masyarakat Papua terhadap tidak masuknya RUU Otsus Papua dalam Prolegnas 2015. Maka kesan bahwa RUU Otsus Plus ini hanya memuat kepentingan para elite Papua makin kuat
Untuk itu, saran saya kepada pemerintah Papua untuk melakukan evaluasi terhadap penyelenggaran Otsus Papua secara terbuka kepada rakyat Papua terlebih dahulu. Bukan hanya kepada ratusan orang saja seperti yang dilakukan oleh MRP. Evaluasi yang menyeluruh terhadap penyelenggaraan, regulasi dan lain sebagainya bersama elemen masyarakat Papua. Sehingga dari evaluasi tersebut diharapkan akan lahir RUU Otsus Plus Papua, bukan hanya RUU Otsus Plus Elite Papua. Akhirnya, dalam pengajuannya pun, elite Papua ini akan didukung oleh rakyat Indonesia di Papua, seperti halnya keberhasilan pengajuan UU Otsus Papua 15 tahun yang lalu.
(src : kompasiana)


0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Blogger Themes | LunarPages Coupon Code